SAIMAN tak tahu persis apa yang terjadi malam tadi. Namun seperti pagi yang biasa. Sinar mentari itu pun menembus jendela kamarnya, sebuah ruangan yang paling dirindukannya. Saiman membuka mata pada hari yang berbeda…
"Selamat ulang tahun," ujar suara yang datang menembus kebekuan udara di kamarnya. Saiman mengekori asal suara. Mengedarkan matanya ke seluruh ruangan. Di sana, di ambang pintu ibunya sudah berdiri dengan anggun. Saiman membelalakkan matanya, memperjelas pemandangan yang ada di hadapannya.
"Anak ibu yang ganteng sudah bangun," ujar perempuan senja itu sambil mengelus kepala anak lelakinya. Senyum tipis lepas dari bibirnya. Sementara di atas meja belajar yang tertata rapi, di antaranya terdapat kue tart dengan dihiasi dian menyala serta beberapa amplop merah muda yang agaknya belum dibuka. "Ayo bangkit, sambut hari barumu," lanjut ibu.
Saiman bergeming. Kepalanya berputar, matanya mengedar. dia menatap kosong ke atas meja belajar. Pandangannya terhenti pada sebuah kue tart dengan dian menyala di atasnya. Sambil mengucek-kucek matanya, lelaki yang tak lagi muda itu bangkit dan duduk bersandar di atas ranjang. Sementara ibu nyamasih duduk di sampingnya.
"Apa hari ini hari ulang tahunku, Bu?" Saiman bertanya. Ibu mengangguk sambil berdehem. Air merembes dari kelopak matanya. Saiman mencoba bangkit namun kepalanya terasa berat seperti ditimpa meja belajar. Dia meringis sebentar. Ibu membantunya duduk tegak. "Ke-22,"jawab ibu. "ke 22?" sambung Saiman. Ibu mengangguk sambil berdehem. Tangisnya hampir tumpah, namun tertahan ketegaran.
"Aku hampir lupa kalau ini hari ulang tahunku, Bu," Saiman tersenyum. Ibu ikut tersenyum. Sejenak Saiman meregangkan nafas dan mencoba mengingat sesuatu. "Yang ke 22, kata ibu?" tanyanya lagi. Ibu mengangguk. Airmata tak kuasa tumpah ke pipinya yang layu oleh guratan peta kehidupan. Saiman mencoba bangkit namun dia limbung. "Duduk saja, biar ibu, bawakan kuenya," saran ibu sambil beranjak.
Saiman menghirup udara pagi dengan perasaan yang paling rindu. Sisa alkohol yang ditenggaknya malam tadi agaknya masih terasa berat di kepala. Lelaki itu mencoba menangkap pesan aneh yang terjadi pagi itu, ketika ibu duduk di sampingnya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Entahlah, Saiman belum dapat merasakan keanehan pesan itu. Namun dia menangkap ada yang berubah dari ibu. Guratan peta kesedihan semakin jelas di pipinya, jalannnya yang melemah dan membungkuk, serta… serta rambutnya yang putih oleh uban.
Ibu kembali menghampiri Saiman dengan kue tart di tangan. Airmatanya sudah ditepis. Kini Saiman hanya bisa menangkap pesan kegembiraan dari wajah ibunya. "Tiup lilinnya..." ujar ibu dengan nada terpaksa gembira. Saiman masih terpana dalam kegemingan yang paling asing. Seperti kamarnya, itu adalah suara yang paling dirindukannya. Tiba-tiba Saiman tenggelam dalam ingatan malam sebelumnya, ketika pesta kecil-kecilan ditingkahi aksi bodoh beberapa kawannya yang sudah mabuk karena alkohol dan ganja. Saiman menyipitkan mata. Diterawangnya lorong waktu yang dilewatinya. Kepalanya berat. Mungkin efek alkohol masih bersisa di kepalanya.
"Di mana yang lainnya, Bu?" tanya Saiman ketika akhirnya ibu berdiri menghadapnya dengan membawa kue tart. Ibu menyerahkan kue kepada Saiman kemudian balik kanan membuka pintu kamar Saiman.
Di dalam keterasingan waktu, Saiman masih belum dapat menimbang dan menentukan lorong yang dilaluinya pagi ini. Dia terbangun dari tidur dan menemukan semuanya tampak begitu berbeda. Namun dalam perbedaan itu ada sekerat rasa yang ingin dirasakannya. Namun tidak bisa. Dia tak bisa menyimpulkan fenomena pagi ini dengan rasa. Dia melihat ibu dengan keriput yang membungkus tubuhnya yang kian ringkih. Dia melihat ibu dengan jalannya yang membungkuk dan lambat, dia melihat ibu dengan rambut putih menghiasi kepala. Saiman melihat handuk Spongebob-nya masih tergantung di balik pintu, dia melihat tatanan buku di atas meja dengan rapi. Dia melihat sprei, dia melihat poster The Beatles masih menempel, dia melihat jam dinding yang bertanda tangan Raul Gonzales. Dia melihat cat warna kamarnya, dia melihat pintu. Dan dia melihat seluruh kerabatnya satu persatu masuk ke dalam kamar dengan wajah yang tak mungkin bisa menyembunyikan kegembiraan. "Selamat ulang tahun," ujar mereka nyaris bersamaan. Saiman tergagap. Dia henyak sikap.
"Jagoanku akhirnya bangun," ujar ayah dengan suara menua.
"Selamat ulang tahun adik kecil," ujar Isma, kakaknya sambil memberikan kotak kado. "Jangan dibuka dulu," pesan Isma.
Saiman melayang. Dia mengambang dalam ingatan dan keingintahuan. Di samping Isma berdiri seorang perempuan muda, seorang lelaki asing, dua orang remaja dengan rambut kemerah-merahan dan berkulit putih pucat serta seorang gadis cilik yang senyumnya mengingatkan Saiman pada seseorang yang paling dirindukannya.
"Selamat ulang tahun,"
"Yah, happy birthday, selamat ulang tahun, adik lelaki kecil,"ujar lelaki asing itu dengan bahasa yang aneh di telinga sambil menyodorkan tangan dan menyalami Saiman.
Saiman menggeser duduknya. Dia mencoba memahami keadaan tanpa bertanya. Hingga akhirnya dia teringat sesuatu, "Ibu, di mana Dora?"
Ibu menyembunyikan sesuatu. Ya, pagi itu ibu menyembunyikan sebuah kejutan yang agaknya Saiman tak bisa raba. "Tiup saja lilinnya," ujar ibu dengan wajah memerah.
"Ibu, di mana Dora?" tanya Saiman sekali lagi. Namun ibu dan yang lain malah bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Pertanyaan Saiman dibiarkan lepas mengisi kehangatan ruangan.
"Potong kuenya,
potong kuenya sekarang juga,
sekarang juga,
sekarang juga,
sekarang juga,"
Setelah lilin ditiup, dipotong serta dibagi-bagi, Saiman mulai mahfum dengan perubahan yang dilihatnya. Dia melihat Isma dengan rambut pendek, kacamata tebal serta rok panjang. Dia melihat ayah, yang kuyu dan kurus layu. Dia melihat ada beberapa orang asing yang tak dikenalnya namun dengan bebas bisa masuk ke dalam ruangannya serta ikut bernyanyi selamat ulang tahun.
"Keterlaluan!" tiba-tiba dia bangkit dan melemparkan piring berisi kue begitu saja ke atas ranjang. “Kejutan yang keterlaluan!” sambarnya lagi. Dia bangkit dan mencoba meraih rambut Isma. Isma mengelak namun gerakannya kalah gesit dengan gerakan Saiman yang semakin siang semakin tangkas. "Aw… sakit," Isma meringis. Saiman terdiam. Dia spontan melepas gemasan tangannya atas rambut Isma. "Bukan wig? Bukan rambut palsu?" bisiknya sambil menjauhi Isma. Ditatapnya ayah dan ibu. Dirabanya kerutan kulit di pipi serta rambut putih mereka.
"Sudah jadi ahli make-up ternyata si Dora," ujar dia sambil tertawa. "Aku bahkan tak bisa bedakan mana keriput, mana olahan tangan. Permainan warna dan tehnik cahaya membuatku gamang berpikir, kalau aku tertidur sudah ratusan tahun,"ujar dia sambil terus melebarkan tawanya. Seluruh yang hadir di ruangan itu henyak sesak. Mereka melihat Saiman yang terus tertawa terbahak-bahak. Air mata kembali menetes dari kelopak mata ibu. Disongsongnya Saiman yang tengah berdiri menghadap poto keluarga yang ada di atas meja belajarnya. Bayang-bayang memantul dari kaca. Saiman meraba wajahnya. Dia meraba mata, pipi, hidung, mulut, telinga, rambut. Dia meraba lehernya. Tiba-tiba hari kian panas terasa. Dengan langkah sempoyongan dia berlalu ke cermin yang menempel di dinding kamarnya. Saiman terdiam. Dia tak bisa mengenali perasaannya.
"Ini bukan kerjaan Dora," ujar ibu yang sudah berdiri di belakang pungungnya. "Delapanbelas tahun," ujar ibu patah-patah. Saiman menatap kosong ke dalam cermin. Perasaan yang tak biasa di rasakannya tiba-tiba terasa. "Kau tidur selama 18 tahun, anakku," bisik ibu. Saiman mengernyitkan dahi, guratan terlihat jelas di jidatnya. Dia tercenung menangkap maksud perkataan ibu. Dia limbung, terhuyung huyung. Dia tak ingat apa-apa kecuali hingar bingar pesta… suatu malam.
"Pulang saja kau, banci!" ujar Saiman malam itu.
"Aku mau ikut," ujar Dora.
"Ini pesta untuk lelaki, bukan untuk banci,"
"Aku harus ikut,"
"Kau urus saja salonmu itu,"ujar Saiman diikuti tawa kawan-kawannya yang mabuk berat karena pengaruh minuman beralkohol.
Dora menangis. "Yah, mengadu saja sama ibu, banci!" teriak Saiman sambil menekan pedal gas mobilnya. Aspal berdecit. Dora menjerit.
***
Isma mencoba mendekati Saiman yang tengah bingung dengan kesadaran. Disandarkannya dagunya di pundak Saiman. Saiman melengos. Isma menyodorkan bungkusan kado. "dari Dora," bisiknya dengan suara tercekat kesedihan. Saiman menerima dengan perasaan paling bersalah. "di mana Dora?" tanyanya dengan suara yang nyaris tak keluar. Isma menjawab dengan senyuman. Sambil membantu Saiman membuka bungkus kado. Dengan penuh kekakuan Saiman mulai membuka kado dari Dora, si bungsu penyakitan yang kebanci-bancian. Isinya, sebuah sisir dan cermin kecil serta secarik surat beramplop merah jambu. Saiman tersenyum sambil menyeret langkahnya. Sambil duduk di kursi, diletakkannya sisir dan cermin pemberian Dora di atas meja belajar. Saiman mulai membuka amplop merah muda ketika kerabat keluarga yang lainnya berdiri membisu dihalau waktu.
"Untuk Saiman, kakakku yang kucintai…" Saiman mulai membaca.
….Aku tulis surat ini ketika kau tertidur panjang di atas ranjang yang dulu sering menjadi gelanggang pertempuran kita. Kau ingat? Ketika kita menjambak rambut kepang Kak Isma. Itu masa- masa indah. Kita habiskan hari-hari kita di dalam kamar ini. Kita habiskan cerita-cerita tentang, Batman, Superman, Real Madrid, The Beatles, Metallica, 12 Murid Isa,, Bob Marley, tentang apapun yang kau suka dan tentunya aku tidak suka, sebab aku hanya tertarik berbicara mengenai mode rambut tren masa kini, gaun pesta, serta make-up apa yang pas untuk dipakai Tamara Blezenski dan warna lipstick yang cocok di bibir Drew Barrymore. Kita habiskan pula hari-hari remaja kita. Kau asik memencet jerawatmu dan aku menjadikan wajahmu yang penuh jerawat itu sebagai laboratorium dengan alat make-up yang kucuri dari Kak Isma. Sekarang kau pasti ingat.
Aku tulis surat ini, karena aku tahu kau akan bangun suatu hari nanti. Walaupun aku tak yakin bisa bertahan hidup sejauh itu, tapi aku percaya kau pasti bangun dan menemukan kamar kita tertata rapi, karena aku yang selalu merapikannya. Aku mau bilang, aku sudah lupakan peristiwa malam itu, ketika kau menolak aku ikut untuk pergi ke pesta kawan-kawanmu. Aku sudah lupakan juga hinaan itu. Aku tak marah padamu. Sama sekali tidak.
Saiman kakakku, ketika nanti kau baca surat ini, aku ingin kau tahu, kalau aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku ingin ucapkan rasa terima kasih itu langsung kepadamu, namun agaknya tidak bisa. Aku kira aku tak punya waktu yang lama untuk menunggumu bangun dari tidur panjangmu. Maka aku tulis surat ini di hari ulang tahunmu yang ke 30. Sebab aku tak yakin akan berjumpa lagi denganmu pada ulang tahunmu yang ke 31, 32 dan seterusnya.
Aku pun akan mengenalkanmu pada seseorang dan seseorang lagi. Dia Fatimah. Dara tetangga yang dahulu kala selalu kukepang rambutnya. Kau tentu ingat. Dia adikmu sekarang. Dan Juwita, bayi mungil yang cantik itu, hehehe, kau takkan pernah membayangkan tentunya. Dia buah cintaku dan Fatimah. Entah kapan kau bangun, pada suatu hari nanti, Juwita tak lagi bayi mungil, tapi dia tetap cantik. Secantik ibunya dan sesabar ayahnya. Aku harap hari-harimu mendatang tak lagi sepi. Kamar kita yang dulu kerap kau berantakkan akan selalu rapi, sebab Juwita akan menggantikanku untuk merapikannya.
Saiman kakakku, jagoan dan panutanku. Betapa indah hidup ini setiap kali kita terbangun dan menyapa mentari. Menapaki hari lain untuk kemudian berganti dan seterusnya bertemu pagi lagi dan bangun. Suatu kepastian yang tak terbantahkan. Suatu keajegan yang terus bergulir hingga nanti tak ada lagi kehidupan. Bila saja hidup ini memberikan pilihan lain selain pilihan-pilihan kepastian, tentu aku akan memilih tidur sepertimu. Sebab kau akan bangun lagi untuk menyapa mentari dan menapaki sisa hidupmu yang membanggakan. Sayang aku tak bisa. Meski begitu aku berharap banyak, nanti setelah kau bangun dari tidur panjangmu berbuatlah sesuatu untuk mengisi tahun-tahun yang hilang. Matahari merindukanmu, Saiman. Kami menantikanmu pulang. Sejak alkohol merusak pikiranmu, kau tahu, rumah kita kehilangan kehangatannya. Kembalikan kehangatannya.
Oh ya, satu lagi, aku kirimi kau sisir dan cermin. Aku tak tahu apakah benda-benda itu penting bagimu. Tapi kurasa, penting tak penting, yang jelas kau pasti perlu. Paling tidak untuk merapikan rambut dan memandangi wajahmu. Jangan cemas. Bagiku dua benda itu memang penting. Tapi di dalam kubur nanti, aku tak memerlukan itu. Yang kuperlukan adalah jawaban dari soal yang ditanyakan Munkar dan Nankir…
Saiman meratap. Kesal dan sesal entah pada siapa dialamatkan Perasaannya remuk seperti mobilnya yang ringsek pada malam ulang tahunnya 18 tahun silam, -ketika dirinya tak mampu mengendalikan karena kemunculan mendadak seorang banci di tengah jalan-. Saiman menahan buah kerinduannya; duka dan nestapa. Saiman tak kuat menahan carut marut luka hatinya. Tangis teredam menggetarkan dadanya. Dia terduduk lemah. Menyadari dan mengiklaskan kelemahannya. Saiman menyembunyikan wajah di lipatan tangannya.
“Dora, akhirnya kau menjadi lelaki juga. Kau menjadi apa kau seharusnya. Adikku, apa jadinya kamar ini tanpa keberadaanmu? Buat apa aku bangun kalau akhirnya aku menemukan kau tak ada lagi di sini, di tengah-tengah kami? Bagaimana caranya kusampaikan rasa yang beradu aduk ini?” bisiknya pada sisir dan cermin kecil. Saiman menatap dalam wajahnya. Lebam, muram dan memburam….
"Om Saiman, Om Saiman, jangan tidur lagi…"
Saiman tak merasa kalau Juwita terus menggoyangkan tangannya yang terkulai di atas meja belajar.
Subang, 22-09-2007
Binjai, 31-01-2011
KOMENTAR ANDA