Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dipanggil ke Istana Bogor oleh Presiden Joko Widodo. Dia dimintai saran guna mengatasi anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Pria yang disapa HT ini mengatakan, keadaan Indonesia sudah berubah dari 40 tahun lalu, di mana pada era 70-an, ekonomi Indonesia ditopang oleh oil boom. Pada waktu itu harga minyak naik dan Indonesia masih sebagai anggota OPEC dan pengekspor minyak.
"Di era tahun 80 sampai 90-an, sektor industri khususnya manufaktur sebagai penopang ekonomi nasional. Banyak pabrik didirikan melalui fasilitas PMDN, PMA dan lainnya yang sekaligus menciptakan lapangan kerja," kata HT dalam keterangannya kepada redaksi di Jakarta, Kamis (27/8).
Dia menjelaskan, tahun 2000-an sampai 2012, Indonesia mendapat windfall commodity boom. Harga komoditas meroket tajam seperti kelapa sawit, batu bara, karet, timah, biji besi dan lain sebagainya yang menyebabkan 65 persen ekspor non migas didominasi oleh komoditas.
"Pak SBY sebenarnya tertolong dengan commodity boom ini. Pada waktu harga komoditas mulai turun tahun 2013, imbasnya ke pertumbuhan ekonomi yang mulai melambat, itulah kenapa tahun 2014 kita hanya tumbuh sekitar lima persen," beber HT.
Menurutnya, saat ini penopang ekonomi Indonesia sudah tidak ada lagi, Indonesia sudah hobi impor minyak dan industri nasional sudah kalah bersaing dengan negara-negara regional dan harga komoditas juga sedang rendah-rendahnya.
"Sehingga solusinya adalah bagaimana investasi digalakkan dan belanja pemerintah dipercepat. Tidak ada jalan lain lagi. Itulah saran saya saat ini adalah bagaimana kedua hal di atas bisa dilaksanakan secara tepat sasaran dan cepat," jelas HT.
Selain itu, lanjutnya, semua kebijakan dan praktik yang menghambat investasi dan belanja pemerintah harus dipangkas dan bank fokus pada pembiayaan sektor produktif, bukan konsumtif. Sedangkan proyek-proyek infrastruktur yang dipegang broker dan tidak dikerjakan dialihkan ke BUMN yang relevan agar bisa berjalan.
"Hal lain yang harus diantisipasi adalah penerimaan pajak yang akan berkurang banyak dengan lesunya ekonomi. Dari sekarang sudah harus dipikirkan alternatif pendanaan agar APBN tetap bisa dilaksanakan," cetusnya.
CEO MNC Group ini menyarankan agar pemerintah memajukan sektor riil yang dilakoni oleh para pengusaha kecil menengah, petani dan nelayan.
"Saya sebenarnya punya banyak konsep penataan UMKM, petani, nelayan dan lain sebagainya dan ini penting dalam kondisi saat ini karena dengan kurs dolar per rupiah yang melejit, justru kelompok marjinal ini yang paling kena imbasnya. Kualitas hidup mereka turun drastis," tegas HT.
Senada dengan HT, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng menambahkan, saat ini Indonesia jangan terlalu bergantung pada investasi asing. Menurutnya struktur ekonomi Indonesia yang saat ini tidak bagus akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya.
"Logikanya kalau ada investor menanamkan dolar di Indonesia, kita ambil contoh mereka inves infrastruktur, yang mereka dapat itu rupiah sementara rupiah telah mengalami depresiasi kurang lebih 16 persen dari Rp 12 ribu menjadi Rp 14 ribu. Para investor mendapatkan keuntungan dari infrastruktur itu kan rupiah karena disewakan ke masyarakat dan yang jadi masalahnya rupiah telah tergerus 16 persen itu tadi yang membuat keuntungan mereka juga semakin berkurang," jelasnya.
Menurut Salamuddin, dalam mengembangkan sektor riil melalui UMKM, koperasi dan lain sebagainya, pemerintah harus memberikan kemudahan bagi pengusaha kecil, nelayan dan pedagang dalam hal permodalan.
"Kalau mau pinjam modal saja susah, pajak tinggi, suku bunga tinggi ini kan sama aja membunuh UMKM. Makanya pemerintah sekarang harus banting setir untuk mengembangkan sektor ini agar rakyat kita bisa jadi rakyat yang produktif," pungkasnya.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA