Kapolda, Kajati dan Gubernur dikumpulkan Presiden Jokowi di Istana Bogor, Senin (24/8) lalu. Topiknya, antara lain penyamaan persepsi dalam penegakan hukum menyusul minimnya daya serap anggaran belanja pemerintah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sebanyak Rp 273 triliun dana dari pusat untuk daerah masih mengendap di bank per Juni 2015. Pejabat negara masih ragu-ragu dalam mengambil kebijakan karena takut dijerat hukum.
Padahal, jika daya serap anggaran belanja pemerintah optimal, otomatis akan ada multiplier effect, seperti perputaran uang di tengah masyarakat dan menyegarkan kembali ekonomi nasional yang tengah lesu.
Bagaimana upaya pemerintah pusat meyakinkan pemerintah daerah agar bisa mempercepat daya serap anggarannya? Apakah pejabat negara akan diberi karpet merah berupa perlindungan hukum? Simak wawancara Rakyat Merdeka dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berikut ini:
Kenapa pemerintah daerah takut menggunakan anggaran?
Karena khawatir dipidana. Padahal belum tentu kesengajaan untuk niat jahat mengambil uang.
Berarti pertemuan itu memberikan perlindungan?
Bukan memberi perlindungan untuk menggunakan anggaran. Tapi menjelaskan SOP (Standard Operating Procedure)
Bukankah para penegak hukum memang perlu menindak para pelaku korupsi?
Betul. Pencolong itu tetap perlu ditindak. Kalau ada niat jahat mengambil uang negara, itu harus ditindak.
Apa tujuan pertemuan itu?
Untuk menyamakan persepsi, apalagi saat ini serapan anggaran masih sangat rendah. Padahal kita ingin mem-push pertumbuhan ekonomi. Kalau ini cepat bergerak akan menolong multiplier effect pertumbuhan ekonomi.
Persamaan persepsi itu dalam hal apa?
Pelaksanaan hukum, melihat kesalahan administrasi itu seperti apa. Pelanggaran hukum itu seperti apa. Nanti penyimpangan terhadap Kepmen (Keputusan Menteri) saja yang sebetulnya administratif bisa dianggap kerugian negara.
Padahal tidak ada niat jahat, bisa saja kelalaian yang tidak dimaksudkan. Tidak disengaja. Tapi kadang-kadang disamaratakan.
Apa sekarang sudah satu persepsi?
Ya, kan Presiden sudah bilang samakan persepsi soal itu, supaya anggaran ini bisa terserap segera.
O ya, pasal penghinaan presiden bagaimana kelanjutannya?
Itu terus. Tetap.
Bukankah itu dapat membungkam daya kritis masyarakat?
Kita sudah pikirkan mengakomodasi kritikan. Harus dibedakan dong, mengkritik presiden dan menghina martabat harkatnya.
Bedanya di mana, bukankah itu hanya masalah persepsi saja?
Menkumham itu brengsek, tidak tahu membuat keputusan, malas kerja, ini kritikan.
Kalau menghina?
Kalau dibilang menteri itu anak haramjadah. Wah, pas nggak, gitu kan. Harus dibedakan antara kritik dalam jabatan itu dengan mendegradasi harkat dan martabatnya.
Bagaimana kompromi dengan DPR supaya dapat menggolkan pasal tersebut, apalagi pasal itu sudah pernah dihapus MK?
Barangkali nanti kalau kita bahas dengan DPR, komprominya itu sifatnya menjadi delik aduan. Mungkin begitu.
KOMENTAR ANDA