Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai ada enam aktor yang berpotensi memicu konflik pada Pilkada serentak yang diselenggarakan di 269 Kabupaten/Kota pada 9 Desember 2015 nanti.
"Keenam aktor itu, peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pemilih, pemerintah, TNI dan Polri serta media massa," kata anggota KPU Pusat Arief Budiman dalam diskusi Forum Senator untuk Rakyat (FSuR) Kantor Berita Politik RMOL bertajuk "Memetakan Potensi Konflik dalam Pilkada Serentak" di Kafe Dua Nyonya, Jakarta, Minggu (23/8).
Menurut Arief, peserta Pilkada rawan menjadi aktor memicu konflik, apalagi bila Pilkada hanya diikuti dua kandidat. Aktor selanjutnya, penyelenggara Pilkada. Hanya saja sudah ada instrumen untuk mengkoreksinya melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Aktor ketiga adalah para pemilih. Aktor keempat, pemerintah berkaitan dengan dana Pilkada. Aktor kelima adalah TNI dan Polri yang mengawasi dan mengamankan Pilkada. "Ini berkaitan netralitas aparat dalam Pilkada," tukasnya.
Sementara itu, aktor keenam adalah media massa. Media massa seringkali memanaskan situasi dengan pemberitaan tak berimbang. "Tulisan itu bisa memberikan kontribusi Pilkada sebagai pesta demokrasi yang meriah atau pesta mencekam," terangnya.
Apalagi, Arief menambahkan, sejak awal pembuatan regulasi Pilkada serentak terjadi banyak perdebatan dan tarik menarik kepentingan. "Isi yang diperdebatkan adalah pelaksanaan tahun 2016. Akhirnya setelah tarik menarik ditetapkan Desember 2015. Begitu pula siapa (daerah) yang ikut banyak timbulkan pertentangan," bebernya.
Menurut Arief, masa kampanye memiliki potensi konflik aktual kalau ada perlakuan tidak fair, terutama pertentangan incumbent dan non incumbent.
Untuk mengantisipasi itu semua, Arief menambahkan, pihak KPU sudah melaksanakan antisipasi, termasuk pula tudingan penggelembungan dan pencurian suara.
"Kita antisipasi data-data akurat, data Kemendagri kualitas baik terkait data pemilih," paparnya. Demikian pula, nantinya dasar penghitungan suara adalah scaning formulir C-1.
Adapun untuk penetapan pemenang, UU pun membatasi kemungkinan terjadi konflik. Untuk meminimalisir konflik, sengketa hanya boleh diajukan bila terjadi selisih di bawah 2 persen suara. "Kalau selisih suara lebih dari 2 persen tak bisa disengketakan," terangnya.
Pembicara lain dalam diskusi itu, Deputy IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Kepresidenan Eko Sulistyo, pengamat sosial kemasyarakatan Adhie M Massardi, Kepala Demografi FE-UI Sonny Harry B Harmadi dan Budayawan Radhar Panca Dharma.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA