post image
KOMENTAR
Langkah pemerintah memasukkan kembali pasal penghi­naan terhadap presiden dalam revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terus dikritik kalangan aktivis. Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia menilai lang­kah tersebut merupakan sebuah kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Alasannya pasal tersebut akan membawa Indonesia seperti zaman Orde Baru dimana suara-suara kritis dari rakyat diberangus.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti mengatakan, keinginan pemerintah untuk mengaktifkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden adalah pencapaian yang tidak baik. "Banyak kontro­versi yang dibuat oleh presiden yang sekarang, seperti dalam kasus KPK-Polri. Sementara itu, Bareskrim Mabes Polri yang sekarang dengan mudah­nya mengkriminalisasi aktivis yang mengkritik pemerintah," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Dia melihat ada keinginan presiden untuk menjaga diri dari kritik masyarakat. "Bahkan presiden tidak berusaha menghentikan kriminalisasi terhadap orang-orang yang kritis terhadap pejabat negara," ujarnya.

Ray mengungkapkan, dalam pasal penghinaan terhadap presi­den, polisi tidak butuh pelaporan untuk memanggil orang-orang yang dituduh menghina presi­den. "Padahal substansi pasal ini yang ada di KUHP sudah dibatalkan MK," sebutnya.

Ray menegaskan, langkah pemerintah ini jelas mengkhawatirkan. "Dalam pasal yang diajukan pemerintah tidak di­jelaskan apa definisi menghina itu. Kita melihat presiden mulai ragu dalam menjawab ekspek­tasi publik, sehingga butuh alat pengaman buat dirinya," tandasnya.

Peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy (INDED), Arif Susanto menga­takan, tiga presiden Indonesia terakhir punya persoalan soal pasal penghinaan terhadap presi­den. "Di era Megawati, dua aktivis yang menginjak-injak gambar presiden diganjar 1 ta­hun penjara, di era SBY, politisi Zaenal Maarif dibawa ke penga­dilan karena menuduh Presiden SBY pernah menikah sebelum masuk Akmil," katanya.

Dia menerangkan, di KUHP ada Pasal 316 yang bicara soal penghi­naan pejabat negara. "Ancaman hukumannya 9 bulan penjara. Kalau yang dihina pejabat, ada hukuman tambahan 1/3 dari huku­man yang ditetapkan. Jadi tanpa pasal penghinaan presiden pun, ancaman terhadap masyarakat masih ada," paparnya.

Arif berpendapat, kalau pernyataan dianggap menghina, presiden tinggal kerja keras dan buktikan dia mampu, dengan demikian penghinaan itu hilang akan dengan sendirinya. "Pasal penghinaan terhadap presiden ini melawan logika demokrasi, ini ancaman bagi kebebasan be­rekspresi. Jangan lagi ada upaya melindungi martabat presiden tapi mengancam hak-hak rakyat untuk berekspresi," tandasnya.

Rohaniawan Romo Benny Susetyo mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi KUHP merupakan pasal yang multitafsir. "Pasal ini tidak jelaskan soal penghinaan tapi malah membunuh kritik terhadap kerja-kerja pemerin­tah," katanya.

Dia mengingatkan, bahaya jika kekuasaan digunakan me­menjarakan orang yang tidak disukai pemerintah. "Dalam demokrasi, publik boleh sam­paikan pendapatnya bahkan yang bertentangan sekalipun, sementara pasal penghinaan ini menghidupkan kembali rejim otoriter," ucapnya.

Romo Benny menekankan, pasal penghinaan terhadap presiden ini akan mematikan demokrasi Indonesia yang se­dang tumbuh. "Mungkin orang-orang di lingkaran presiden menjebak presiden sehingga presiden dipermalukan dan tidak tau konsekuensinya, mereka in­gin menjatuhkan citra Presiden Jokowi yang egaliter dan pro demokrasi," pungkasnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan tetap berusaha mengajukan pasal penghinaan terhadap presiden dalam re­visi KUHP. Menurut presiden, pengajuan pasal itu sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan sebelumnya dan dia hanya melanjutkannya saat ini. "Itu juga pemerintah yang lalu usul­kan itu dan ini dilanjutkan di­masukkan lagi. Namanya juga rancangan, terserah di Dewan dong. Itu rancangan saja kok ramai," katanya.

Di tempat terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengatakan, putusan MK bersifat final dan mengikat. "Kita bisa menga­takan begini. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Itu saja," kata Arief menjawab pertanyaan wartawan terkait kembali diajukannya draf Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP di Istana Negara, Jakarta, kemarin.

Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini menyatakan, dirinya dilarang kode etik untuk mengomen­tari putusan. Dalam pertemuan dengan Jokowi, keduanya juga tidak menyinggung masalah tersebut. Arief hanya mengun­dang Jokowi dalam ulang tahun MKyang akan digelar min­ggu ini yang bersamaan dengan Kongres MKse-Asia.

Apakah ada peluang Pasal Penghinaan Presiden diajukan lagi? "Ya anu saja. Ada beber­apa memang terjadi, kemudian dibuatkan lagi dengan landasan filosofi yang lain, landasan yu­ridis yang lain,"jawab Arief.

Dia mencontohkan norma dalam UUMD3 yang telah dibatalkan MK lalu dibuat lagi oleh DPR. Tapi Arief tidak bisa mengomentari di kasus Pasal Penghinaan Presiden. "Karena kemungkinan itu bisa menjadi objek sengketa atau perkara di MK kembali. Kalau dalam hal-hal itu saya sangat tidak boleh berkomentar karena melanggar kode etik hakim di MK," ka­tanya. [hta/rmol]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa