Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara terkait pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang sedang ramai diperdebatkan masyarakat.
"Izinkan saya menyampaikan pandangan saya," sebut SBY lewat akun twitter miliknya, @SBYudhoyono (Minggu, 9/8).
Prinsipnya, kata SBY, janganlah suka berkata dan bertindak melampui batas. Hak dan kebebasan ada batasnya dan kekuasaanpun juga ada batasnya. Di satu sisi, perkataan dan tindakan menghina, mencemarkan nama baik dan apalagi memfitnah orang lain, termasuk kepada Presiden, itu tidak baik. Di sisi lain, penggunaan kekuasaan (apalagi berlebihan) untuk perkarakan orang yang dinilai menghina, termasuk oleh Presiden, itu juga tidak baik.
Jelas SBY, penggunaan hak dan kebebasan, termasuk menghina orang lain, ada pembatasannya. Pahami Universal Declaration of Human Rights dan UUD 1945.
Dalam demokrasi, lanjut SBY, memang kita bebas bicara dan lakukan kritik, termasuk kepada Presiden, tapi tak harus dengan menghina dan cemarkan nama baiknya. Sebaliknya, siapapun termasuk Presiden punya hak untuk menuntut seseorang yang menghina dan cemarkan nama baiknya. Tapi, janganlah berlebihan.
Hemat SBY, pasal penghinaan, pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan tetap ada "karetnya", artinya ada unsur subyektifitasnya.
"Terus terang, selama 10 tahun jadi Presiden, ada ratusan perkataan dan tindakan yang menghina, tak menyenangkan dan cemarkan nama baik saya. Foto resmi Presiden dibakar, diinjak-injak, mengarak kerbau yang pantatnya ditulisi "SBY" dan kata-kata kasar penuh hinaan di media dan ruang publik. Kalau saya gunakan hak saya untuk adukan ke polisi (karena delik aduan), mungkin ratusan orang sudah diperiksa dan dijadikan tersangka," paparnya.
Jelas SBY, andai itu terjadi mungkin rakyat tak berani mengkritik dan bicara keras lagi, karena takut dipidanakan dan dijadikan tersangka. "Saya jadi tidak tahu apa pendapat rakyat," ungkapnya.
Menurutnya, kalau pemimpin tidak tahu perasaan dan pendapat rakyat, apalagi media juga diam dan tidak bersuara, ia malah takut ini akan menjadi "bom waktu".
"Sekarang saya amati hal seperti itu hampir tak ada. Baik itu unjuk rasa disertai penghinaan kepada Presiden, maupun berita kasar di media. Ini pertanda baik. Perlakuan "negatif" berlebihan kepada saya dulu tak perlu dilakukan kepada Pak Jokowi. Biar beliau bisa bekerja dgn baik. Kita semua harus belajar gunakan kebebasan (freedom) secara tepat. Jangan lampaui batas. Ingat, kebebasanpun bisa disalahgunakan. Ingat, liberty too can corrupt. Absolute liberty can corrupt absolutely. Saya pendukung demokrasi & kebebasan. Tetapi bukan anarki," terang SBY.
Sebaliknya, tambah SBY, pemegang kekuasaan jangan obral dan salahgunakan kekuasaan. Kita sepakat, negara dan penguasa tidak represif dan main tangkap. Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak untuk "menciduki" dan menindas yang menentang penguasa. Para pemegang kekuasaan (power holders) tak boleh salah gunakan kekuasaannya. Presiden, parlemen, penegak hukum, pers dan juga rakyat.
"Kesimpulan: demokrasi & kebebasan penting, namun jangan lampaui batas. Demokrasi juga perlu tertib, tapi negara tak perlu represif," demikian Ketum Partai Demokrat. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA