Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menengarai kecilnya peluang pasal penghinaan Presiden dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Itu (pasal penghinaan presiden) sudah ramai dibicarakan, seharusnya tidak diajukan kembali. Itu sudah pernah diputus oleh MK," katanya di sela peluncuran program 5.000 Alumni UII Pulang Kampus, di Jakarta (Sabtu, 8/8).
Menurut Mahfud, keinginan pemerintah menghidupkan kembali regulasi yang mengatur tentang tindakan penghinaan Presiden bisa menjadi langkah yang sia-sia.
"Kalau tetap mengajukan bisa dibatalkan lagi oleh MK, karena tidak ada alasan lain untuk menghidupkan lagi," tegasnya.
MK sendiri telah membatalkan regulasi yang mengatur soal penghinaan Presiden pada 2006 lalu. Mahkamah menilai bahwa pasal 134, 136, dan 137 KUHP menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan, pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada presiden dan/atau wakil presiden. Namun, dalam RUU KUHP yang disodorkan ke DPR pada 5 Juni 2015 pasal zombie itu kembali dimasukkan.
"Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV," begitu isi pasal 263 ayat 1 RUU KUHP.
Dalam pasal 263 ayat 2 dijelaskan bahwa perbuatan barusan dikecualikan apabila perbuatan itu merupakan penghinaan jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV," demikian ancam pasal 264.
Dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 MK menilai pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945 tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal tersebut.
KUHP yang berlaku saat ini dibuat tahun 1830 oleh Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918 hingga saat ini. KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu lalu menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat hingga hukum pidana agama. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA