Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menilai usulan Pemerintah dalam RUU KUHP yang menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden tidak sejalan dengan kemajuan peradaban dan merupakan kemunduran dalam demokrasi.
"Pasal itu kan pasal feodal, sejarahnya dulu adalah untuk memproteksi penguasa kolonial dari kritik kaum pribumi," kata Jazuli di Jakarta, Rabu (5/8).
Terlebih lagi, lanjut Anggota Komisi III DPR RI itu, pasal tersebut telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 dengan argumentasi konstitusionalitas yang jelas serta mempertimbangkan kemajuan kehidupan berdemokrasi.
Pemerintah, lanjut legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Banten III itu, seharusnya taat pada putusan MK sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, bukan malah memberi contoh melanggar putusan MK yang final dan mengikat.
"Jangan sampai sikap pemerintah ini menjadi preseden buruk atas tejadinya pelanggaran atau pengabaian putusan-putusan MK, sehingga menjatuhkan marwah lembaga demokrasi ini," ujar Jazuli.
Menurut Jazuli, demokrasi yang sudah berkembang baik jangan sampai setback karena tabiat penguasa yang terlalu sensitif dengan kritik rakyat lalu menerapkan pasal karet penghinaan.
Lagipula, lanjut Jazuli, seorang kepala negara dan kepala pemerintahan harus memikirkan persoalan-persoalan besar yang menyangkut kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Jazuli meyakini, jika bangsa maju dan rakyat sejahtera, maka rakyat akan menghormati dan mencintai pemimpinnya.
"Justru tantangan bagi siapa saja yang menjadi Presiden untuk bekerja dan fokus saja memikirkan agenda besar pembangunan bangsa. Kalau kinerjanya baik, negara maju, pasti juga akan dicintai rakyatnya," imbuh Jazuli.
Meski demikian, Jazuli berharap kepada semua pihak untuk mengedepankan kesantunan dan menghormati kepala negara/daerah dalam menyampaikan kritik dan saran. "Sehingga demokrasi kita semakin bermakna dan berkarakter bagi kesejahteraan rakyat," pungkas dia.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA