Rencana memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikiritik sebagai sikap pemerintah yang tidak menghormati hukum dan ruang kebebasan berpendapat publik.
"Sebenarnya apa tujuan di balik usulan pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden di RKUHP tersebut? Jika untuk membungkam pengkritik anti Jokowi-JK atas kinerja buruknya itu sama saja pemerintah saat ini otoriter," tegas Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI) Panji Nugraha dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (4/8).
Panji menekankan, dengan adanya usulan itu sama saja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyakiti hati rakyat yang sudah bersusah payah memperjuangkan demokrasi dan berkorban darah, nyawa, dan airmata untuk menggulingkan rezim otoriter Orde Baru.
"Sebaiknya pemerintah bercermin daripada sibuk memikirkan nama baik alias pencitraan. Saat ini harusnya pemerintah fokus membenahi kinerja. Jika ingin membungkam kritik, maka buktikan dengan kinerja yang baik, bukan menggunakan cara-cara otoriter alias tangan besi," tutup Panji.
Pembahasan RUU itu sedang dibahas Komisi III bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam RUU tersebut, pemerintah mengajukan 786 pasal. Pasal 263 Ayat (1) menyebutkan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV bagi setiap orang yang menghina presiden atau wakil presiden di muka umum.
Sedangkan Pasal 264 menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman penghinaan tersebut sehingga terdengar oleh umum dapat dipidana dengan hukuman yang sama.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA