Insiden pelarangan ibadah dan pembakaran musholla di Kabupaten Tolikara, Papua bukti ketidaksanggupan negara menjamin kebebasan beragama di Indonesia.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, peristiwa yang terjadi tepat di Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah pada Jumat lalu (17/7) menunjukkan intoleransi di tengah masyarakat sangat rentan sehingga mudah dibakar.
"Apapun latar belakangnya peristiwa ini menunjukkan negara lalai menjaga hak atas rasa aman warga," katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/7).
Hendardi menyayangkan, adanya aksi provokasi bersenjata oleh pihak tertentu terhadap warga Papua sebelum aksi pembakaran terjadi. Sebagaimana merujuk pada temuan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).
"Soal provokasi bersenjata ini yang sejak awal tidak dikemukakan oleh Polri," ujarnya.
Insiden Tolikara menjadi salah satu bentuk akumulasi diskriminasi dan ketidakadilan berkepanjangan yang dialami rakyat di Bumi Cenderawasih.
Pasalnya, potensi ketegangan atas dasar agama dan suku antar pendatang dan penduduk pribumi telah menguat sejak lama, akibat kebijakan transmigrasi politik yang meminggirkan warga asli Papua.
"Kerentanan itu bisa mencapai titik kulminasi yang mungkin lebih besar, karena isu utama Papua adalah keadilan dan penghargaan martabat rakyat Papua," beber Hendardi.
Dia memastikan, insiden tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), meski belum tentu dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat.
"Komnas HAM harus bekerja, Polri harus serius bekerja dan jujur serta terbuka mengungkap fakta," tegas Hendardi. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA