post image
KOMENTAR
Selain mendegradasi kemandirian, keputusan KPK untuk mengakomodasi dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP dalam proses pencalonan kepala daerah, juga telah menabrak undang-undang, mengundang keributan baru dalam proses pencalonan kepala daerah, memicu sengketa pilkada, dan melanggengkan konflik internal partai politik.

Demikian diungkapkan peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Muttaqin Pratama, dalam surat elektroniknya kepada redaksi, Kamis (16/7/2015).

Jelas dia, keputusan KPU untuk mengakomodasi pengajuan pasangan calon kepala daerah dari partai politik yang berpengurs ganda, sejatinya telah menabrak UU No 2/2011 tentang Partai Politik dan UU No 8/2015 tentang Pilkada. Menurut UU Parpol keabsahan kepengurusan partai politik ditentukan oleh Surat Keputusan Menkumham. Tentu saja SK menteri tersebut diterbitkan hanya untuk satu kepengurusan yang dianggap sah menurut AD/ART masing-masing partai politik. Atau, dengan kata lain, tidak mungkin Menkumham menerbitkan SK berlaku untuk dua kepengurusan dalam satu partai politik. Selanjutnya UU Pilkada menyatakan, bahwa partai politik yang berhak mencalonkan pasangan kepala daerah adalah partai politik yang kepengurusannya disahkan melalui SK Menkumham.

"SK Menteri itulah yang harus dilampirkan pada saat partai politik atau gabungan partai politik di daerah mengajukan pasanngan calon kepala daerah," terang Heroik Muttaqin.

Soal mengundang keributan baru, kata Heroik Mutaqin, KPU mungkin tidak menyadari, dengan dibiarkanya dualisme kepengurusan partai politik mengajukan pasangan calon kepala daerah, justru akan menimbulkan masalah baru dalam proses pencalonan. Berpegang pada UU Pilkada dan PKPU N0 9/2015 tentang pencalonan kepala daerah, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota akan meminta lampiran SK Menkumham. Kepengurusan dalam SK Menkumham itulah yang mengesahkan kepengursan partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Tentu saja KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota akan taat asas dengan hanya mengakui pasangan calon yang diajukan oleh kepengurusan partai politik yang disahkan oleh pengurus partai politik nasional yang tertera dalam SK Menkumham. Dengan demikian, jika ada pengurus partai lain (yang tidak disahkan oleh pengurus partai politik nasional yang tercantum dala SK Mengkumham), maka KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, akan menolaknya. Penolakan ini tentu saja akan ditentang oleh pengurus partai politik tersebut, karena mereka mendalilkan KPU mengakomodasi kepengrusan ganda partai politik. Keributan akibat soal ini tidak terelakkan, karena masing-masing kepengurusan partai politik merasa paling sah untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah," beber Heroik Muttaqin.

Selanjutnya, rencana KPU untuk mengakomodasi kepengursan ganda partai politik dalam proses pencalonan kepala daerah, sebenarnya menyalahi prinsip islah yang hendak ditegakkan melalui PKPU No 9/2015. Sebagaiman diketahui, PKPU tersebut menegaskan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota hanya menerima pengajuan pasangan calon yang kepengurusannya disahkan oleh pengurus partai politik nasional yang disahkan SK Menkumham. Apabila ada sengketa terhadap SK Menkumham tersebut, maka harus menunggu keputusan inkracht dari Mahkamah Agung atau hasil islah yang disahkan oleh SK Menkumham baru. Jika tidak ada inkracht atau islah, maka partai politik tersebut tidak bisa mengajukan pasangan calon.

"Tujuan ketentuan ini tidak lain untuk mendorong agar partai politik menyelsaikan konflik internal dengan cara hukum atau caranya sendiri. Namu belum tuntas ketentuan itu dipraktekkan oleh partai politik, KPU sudah membatalkannya, yakni dengan mengakomodasi kepengursan ganda. Sesungguhnya hal ini sama saja KPU melanggengkan konflik internal partai," ujarnya.

Terakhir, lanjut Heroik Muttaqin, keputusan KPU ini juga akan memicu munculnya sengketa baik pada tahap pencalonan maupun sengketa hasil. Partai yang tidak puas dengan keputusan KPU akan membawa masalah ini ke ranah sengketa terutama terkait dengan keabsahan pencalonan oleh partai-partai yang mengalami dualisme kepengurusan. Potensi sengketa hasil besar karena bisa jadi dianggap perlakuan khusus bagi parpol-parpol bersengketa.

"Mengingat lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, maka rencana KPU untuk mengakomodasi kepengurusan ganda dalam pencalonan kepala daerah, sebaiknya diurungkan. Kembalilah ke rel yang sudah diatur dalam PKPU No 9/2015 sehingga KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak akan menghadapi banyak masalah dan KPU tetap terjaga integritasnya," tukasnya.[rgu/rmol]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa