Setelah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Pimpinan DPR, KPU akan membuat keputusan baru, yakni mengakomodasi dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP dalam proses pencalonan kepala daerah, dengan syarat calon yang diajukan telah disetujui oleh dua kepengurusan yang berkonflik. Menurut KPU, keputusan ini diniatkan untuk memberikan ruang partisipasi bagi setiap partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah.
Namun menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Mutaqin Pratama, keputusan itu justru mendegradasi kemandirian KPU.
Menurutnya, keputusan mengakomodasi pengajuan pasangan calon kepala daerah dari partai politik yang tengah berkonflik dengan syarat telah disetujui oleh dua kepengurusan, jelas meimbulkan persepsi publik bahwa KPU tidak mandiri lagi dalam membuat keputusan.
KPU seakan membuka diri diintervensi oleh pihak lain, khususnya partai-partai politik yang berkonflik (dengan melibatkan aktor lain yang lebih memiliki daya tekan) sehingga keputusannya justru mengistimewakan partai-partai yang tengah berkonflik, karena meskipun memiliki pengurusan ganda (sesuatu yang dilarang oleh undang-undang) kedua kepengurusan tersebut tetap diperkenankan mengajukan pasangan calon.
"Ini sama saja satu partai politik mengajukan dua pasangan calon," ungkap Heroik Mutaqin dalam surat elektroniknya kepada redaksi, Rabu (15/7/2015).
Selain tidak mandiri, sambung Heroik Mutaqin, KPU yang mengakomodasi Golkar dan PPP, juga telah menabrak undang-undang, mengundang keributan baru dalam proses pencalonan kepala daerah, memicu sengketa pilkada, dan melanggengkan konflik internal partai politik. Untuk masalah-masalah itu akan diterbitkan redaksi dalam berita-berita selanjutnya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA