Suka atau tidak suka, rakyat Indonesia harus mengakui bahwa elemen yang paling kuat dan menjadi elemen yang paling lemah di Indonesia adalah lembaga kepresidenan, Presiden yang memiliki legitimasi sebagai pemenang pemilu, sekali pun tidak mutlak, selalu bermasalah.
"Suka atau tidak suka,rakyat Indonesia harus mengakui bahwa titik lemah bangsa ini terletak pada lembaga kepresidenan. Makanya harus dipikirkan bagaimana mengatasi titik lemah ini tanpa merusak apa yang kita perjuangkan. Kalau kita sasar justru seharusnya kita berkewajiban membaca titik lemah ini untuk kemudian dikompromikan dan dijinakkan," kata Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, (Kamis, 8/7).
Menurut dia, menyadari kondisi ini maka KMP pun pada akhirnya mendukung semua keinginan Presiden. KMP sebisa mungkin menjaga komitmen demokrasi dan tidak ingin pemerintahan berhenti di tengah jalan. Meski memang kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya sesuai dengan nurani KMP seperti kebijakan yang mengacak-acak harga BBM.
"KMP di DPR pun mendukung sepenuhnya APBN yang disusuh pemerintahan Jokowi dan sama sekali tidak mengganggu pemerintahannya. Namun sayangnya justru pemerintahan ini yang memang tidak konsisten," tegasnya.
Putusan untuk mendukung Jokowi pun menurut Fahri sudah menjadi keputusan resmi KMP dan KMP bahkan sudah memerintahkan anggotanya untuk tidak mengkritik Jokowi, meski kadang keputusan pemerintahan Jokowi bertentangan dengan nurani anggota KMP.
"8 Bulan di DPR kita dukung, termasuk kebijakan mengacak-acak harga BBM.Kita tidak mau dianggap sebagai perusak. Namun sayangnya pemerintahan ini tidak konsisten dengan keputusannya," tegasnya.
Bukan itu saja, dirinya pun harus rela menerima kritikan dari ayah kandungnya yang menudingnya sudah menjadi karyawan Jokowi. "Karena keputusan KMP untuk sepenuhnya mendukung Jokowi,saya sampai dibilang sama ayah saya sebagai karyawan Jokowi karena membelanya terus saat ini, termasuk dari para pendukungnya," paparnya.
Namun demikian keluh Fahri, dirinya, KMP maupun DPR tetap saja dianggap menjadi masalah bagi pemerintahan, meski sebenarnya yang bermasalah justru pemerintahan sendiri. Dia pun mencontohkan masalah revisi UU KPK. Semua pihak pada awalnya sepakat bahwa ada masalah dengan KPK, tapi kemudian pemerintah menarik diri dan balik badan karena takut dengan citra tidak pro pemberantasan korupsi.
"Coba lihat asal muasalnya yang menjadikan pimpinan KPK sebagai tersangka kan pemerintah, yang menonaktifkan pimpinan KPK juga pemerintah, yang mengangkat Plt pimpinan KPK pun pemerintah, yang mondar mandir ingin merevisi pemerintah," ungkap Fahri.
"Lantas kita bertemu sepakat untuk merevisi dan dimasukkan dalam prolegnas dan Plt KPK seperti Indiarto dan Taufikurahman pun sepakat bahwa UU KPK jahiliyah dan musti direvisi.Tapi terakhir yang disalahkan DPR dan dianggap ingin melemahkan KPK.Pemerintah pun menarik diri dari rencana revisi," demikian Fahri. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA