Sejumlah kalangan menilai kemampuan dan kinerja Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bukan saja tak punya kemampuan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga terbukti tidak kredibel dan punya kemampuan melaksanakan tugasnya.
"Sejak awal pembentukan kabinet, saya meragukan kemampuan menteri-menteri tersebut dan sekarang terbukti," ujar pengamat politik Rusmin Effendy di Jakarta, tadi malam (Jumat, 19/6).
Menurut dia, semua ini karena ketidakmampuan Jokowi merekrut para menteri yang berkualitas, tapi bersifat transaksional, politik balas budi dan tekanan politik. Karena itu, reshuffle kabinet bukan merupakan pilihan yang tepat bila penggantinya masih bersifat transaksional.
Lanjut Rusmin, sejak awal proses seleksi menteri sudah tercium aroma transaksional bahkan rumor tentang mahar politik yang cukup prestesius yang dilakukan orang-orang dilingkaran dekat Jokowi maupun JK. Yang lebih memprihatinkannya, seleksi dilakukan sangat tertutup bahkan ada yang dipanggil tidak diberikan posisi apa-apa.
:Proses awalnya saja sudah bermasalah, apalagi sekarang dan publik sudah melihat sendiri banyak menteri yang tidak punya kemampuan dan gebrakan apa-apa," kritiknya.
Dia menyebutkan, menteri bidang ekonomi misalnya, sama sekali tidak punya kemampuan menjalankan semangat Trisaksi Bung Karno, bahkan sangat liberal. Akibatnya, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi-JK dinilainya menjadi keranjang sampah bagi antek-antek neolib yang secara bebas mengusai pasar Indonesia.
"Beberapa menteri yang dianggap kontroversial dan tak punya kemampuan seperti Rini Sumarno, Sofyan Djalil, Sudirman Said, Ignasius Jonan, Marwan Djafar, Imam Nahrowi, Andi Widjojanto, Yasona Laoly, Susi Pudjiastuti, Tedjo Edhi Purdijatno dan beberapa nama lainnya layak di-reshuffle. Persoalanya apakah Jokowi punya keberanian mengganti mereka," tegasnya.
Saat ini, menurut Rusmin, publik sudah terlanjur kecewa terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Apa yang dijanjikan selama kampanye sama sekali tidak terbukti dan masyarakat semakin menjerit dengan kebutuhan pokok yang semakin tinggi.
Bila kondisi ini tak segera diperbaiki, ia khawatir bukan tidak mungkin bakal muncul gerakan people power untuk menurunkan pemerintah.
"Beberapa negara dengan pemerintahan yang otoriter yang tidak berpihak kepada rakyat seperti Filipina, Thailand, pemerintahannya tidak berlangsung lama dan diturunkan melalui gerakan people power. Jadi, bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi di Indoensia," pungkasnya.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA