BELAKANGAN, marak pemberitaan tentang ijazah palsu yang diperjual-belikan. Bukan hanya ijazah palsu, beberapa di antaranya ijazah dari beberapa perguruan tinggi yang dibuat oleh oknum kampus, alias ijazal abal-abal (tanpa kuliah). Hal ini menjadi gambaran kondisi ironis; pada saat daerah pinggir Indonesia kekurangan infrastruktur pendidikan, di tempat lain ijazah diperjual-belikan dengan sangat mudah.
Setiap tindak penyelewengan tentumenyangkutmoral. Tetapi, melihat kasus ijazah hanya sebagai bertemunya pragmatisme pembeli dan penyedia,akan membuat kasus ini sebatas tindak kriminal.Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kasus ini hanya soalbagaimana membenahi moral?
Komodifikasi Pendidikan
Muncul ke permukaannya kasus ini bermula dari terkuaknya dua "perguruan tinggi", University of Berkley yang tidak berijin dan STIE Adhi Negara yang menerbitkan ijazah tanpa perkuliahan. Setelah itu, penelusuran menemukan penerbitan ijazah palsulain, seperti University of Sumatera dan bisnis lewat online. Entah akan berapa lagi yang akan ditemukan. Kasus ini agaknya tidak terlalu mengagetkan, mengingat praktiknya telah ada sejak lama.
Kasus ijazah palsui baratpuncak gunung es, yang tampak kecil di permukaannamun ada pondasi besar di bawahnya. Kasus ini menjadi fenomena negara berkembang dengan masalah yang relatif sama: ekonomi dan pembangunan. Bisnis ijazah palsumemiliki banyak demand dengan dianggap efektifnya gelar akademik untuk menunjang karir pekerjaan dan kampanye politik.
Oleh karena itu, perlu cara pandang yang lebih struktural dalam melihat apa yang mendasari fenomena ini. Dalam hal ini, terdapat dua hal yang menjadi pondasi puncak gunung es ijazah palsu.
Pertama, masalah kebijakan pendidikan. Dalam pembangunan, pendidikan adalah prasyarat (precondition of development), sebagai instrumen penyediaan human capitalyangberkualitas (Bowman, 1996). Namun, kebijakan yang ada pada kenyataannya belum menempatkan pendidikan dalam kerangka pembangunan. Hal ini tampak dengan mahalnya biaya pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Belum lagi, distribusi infrastruktur pendidikan yang masih terpusat di area perkotaan. Data BPS (2013) menunjukkan bahwa anak tidak bersekolah mencapai 30,58 persen dari total penduduk usia sekolah.
Walaupun tingginya angka ini memiliki penyebab selain biaya, justru di situlah letak permasalahan pendidikan secara multifacet. Bagi sebagian orang, mengenyam pendidikan belum menjamin peningkatan kualitas hidup secara materi.
Hal ini berhubungan dengan sebab kedua, yaitu kaitannya dengan distribusi akses mobilitas sosial (perbaikan kesejahteraan individu dan keluarga).Minimnya lapangan pekerjaan masih dianggap sebagai salah satu alasan rendahnya minat bersekolah, selain tingginya biaya pendidikan. Masa mengenyam pendidikanvis a viskesempatan kerja yang terbatas menyebabkan pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peluang yang jadi taruhan (opportunity cost). Jika melihatnya seperti ini, biaya pembuatan ijazah palsu yang hanya jutaan rupiah, secara ekonomis lebih murah daripada total biaya pendidikan dan lama masa perkuliahan.
Pendidikan pada akhirnya terkondisi hanya sebagai daftar curriculum vitae seseorang: gelar kesarjanaan. Pendidikan yang sejatinya adalah proses peningkatan kapasitas, dan gelar kesarjanaannya sebagai bukti telah dilewatinya proses tersebut, bergeser menjadi komoditas personal untuk pencarian kerja dan status sosial. Direduksinya fungsi ideal pendidikan karena faktor ekonomi inilahyang disebut sebagai komodifikasi pendidikan (Freire, 1968). Komodifikasi pendidikan, pada perkemerbangannya, menjadi bagian yang turut mereproduksi lingkaran masalah struktural yang telah disebutkan di atas, yang salah satunya karena tidak berkualitasnya proses pendidikan yang dilakukan. Parahnya, beberapa pejabat perguruan tinggi pun menjadi pengguna ijazah palsu untuk kenaikan karirnya.
Membuka Mata
Dalam kondisi demikian, ijazah palsu sebagai produk adalah "konsekuensi logis" dari tingginya kebutuhan gelar kesarjanaan secara instan karena sebab-sebab tersebut. Di negara industri, status kesarjanaan bukan satu-satunya penilaian seseorang; lebih pada keterampilan, pengalaman, dan integritasnya. Pembangunan modern, berdasar pada SDM (human resource based), inilah yang belum ada pada kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Langkah pemerintah untuk melakukan penelusuran gelar kesarjanaan pegawainya tentu merupakan upaya positif dalam merespon isu ijazah palsu ini. Namun, dengan masalah struktural yang mendasarinya, kebutuhan gelar kesarjanaan instan ini akan menjadi demand yang selalu ada, dengan modusnya yang akan selalu berkembang.
Oleh karena itu, selain melakukan penelusuran dalam konteks pidana, pemerintah perlu melakukan langkah lebih lanjut. Database kesarjanaan yang dapat diakses terutama di semua lembaga pemerintah yang menggunakan rekrutmen berbasis tingkat pendidikan adalah kebijakan yang penting untuk segera dilakukan. Dengan ini, tahap rekrutmen dapat disempurnakan dengan verifikasi yang valid. Kebijakan ini juga akan meminimalisir penggunaan gelar akademik palsu yang sering terjadi di setiap Pemilu, yang selama ini masih dianggap meningkatkan elektabilitas politik.
Selain itu, melakukan pembenahan sistem pendidikan secara umum adalah langkah struktural dalam tujuan pembangunan berbasis SDM (human resorce based). Dengan itu, artinya, pendidikan akan secara otomatis jadi faktor pendorong mobilitas sosial penduduk. Adanya sistem pendidikan yang baik akan meminimalisir berkembangnya komodifikasi pendidikan. Oleh karena itu, distribusi infrastruktur pendidikan di daerah menjadi "pekerjaan rumah" pemerintah yang perlu segera diselesaikan.
Tentunya tidak berhenti hanya sampai ketersediaan infrastruktur, namun juga aksesibilitas pendidikannya. Sehingga, jumlah penduduk bersekolah dan melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi akan meningkat. Dua pilihan yang bisa diambil: meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat agar bisa membayar pendidikan, atau menurunkan biaya pendidikan. Agaknya, melihat pendidikan sebagai prasyarat pembangunan, menurunkan biaya pendidikan adalahpilihan yang harus diambil pemerintah. [***]
*Peneliti di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
KOMENTAR ANDA