post image
KOMENTAR
Sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY (2004-2009), rakyat Indonesia terbiasa hidup di alam penuh dusta. Kita menjadi sangat permisif terhadap kebohongan. Bahkan kosa kata "kebohongan" berubah menjadi "pencitraan" sehingga tidak lagi menjadi aib. Maka bila para kandidat pemimpin, dari tingkat pusat (presiden) sampai daerah (bupati, walikota, gubernur) tampil di panggung-panggung politik menebar kebohongan yang dikemas dalam janji pemilu, tidak lagi disebut sebagai "sedang menebar kebohongan" melainkan dianggap sedang melakukan "pencitraan".

Itulah sebabnya ketika para pimpinan umat beragama pada 10 Januari 2011 mencanangkan "Tahun Perlawanan Terhadap Rezim Kebohongan (SBY)", tidak mendapat respon dari masyarakat.

Dunia kampus yang dianggap sebagai sentra kekuatan moral rakyat juga tidak bergeming. Sedangkan DPR yang anggotanya lazim disebut "yang terhormat" merasa tidak perlu menggunakan "hak interpelasi" untuk bertanya kepada presiden, karena kebohongan sudah tidak dianggap sebabagi perbuatan tercela dalam kamus kepemimpinan di negeri ini.

Kini para pendusta memang menjadi orang paling berhasil dalam merebut kursi-kursi kepemimpinan dalam pemerintahan. Seakan sudah digariskan bahwa hanya orang paling andal dalam berdusta yang paling punya kans memenangi pertarungan perebutan kursi kekuasaan. Padahal dalam agama Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, kebohongan merupakan perbuatan dosa besar, karena itu sangat tercela. Sehingga pembohong mendapat sebutan bernada kutukan: Munafik!

Islam mengutuk keras pendusta karena ia bisa menyesatkan dan menyengsarakan banyak orang. Makanya, bukan saja banyak hadits yang mengisahkan kejengkelan dan kemarahan Rasulullah saw terhadap para pendusta. Bukan hanya itu. Bahkan Alloh SWT menurunkan Surah Al-Munafiqun dalam Al Qur'an yang berisi (11) ayat khusus untuk mengutuk dan mengingatkan untuk berhati-hati terhadap orang-orang munafik. Sedangkan kategori orang munafik dijelaskan secara lugas.

Orang yang disebut munafik adalah, 1. Bila berkata ia dusta, 2. Bila berikar ia ingkar, dan 3. Bila diberi amanat ia khianat. Itulah tiga hal yang lazim kita saksikan dengan takzim dilakukan secara terbuka oleh para calon pemimpin di panggung-panggung kampanye. Memang, sekarang ini banyak orang menganggap mustahil "menyatukan kata dan perbuatan". Apalagi contoh yang dipakai adalah mayoritas kalangan elite negeri ini.

Sesungguhnya bagi umat Islam hal itu mudah saja, karena Tuhan telah memberikan pertolongan yang jelas, lugas dan praktis agar umat Muhammad tidak masuk dalam golongan orang-orang munafik, melainkan orang-orang yang bisa menyatukan kata-katanya dengan perbuatan. Hal itu tercermin dalam kata "usholli..." (saya berniat sholat...) yang diucapkan dalam setiap menegakkan sholat, baik yang wajib (5 waktu) per hari, maupun yang sunat. Padahal kita tahu, sebenarnya begitu seseorang bergerak hendak mengambil air wudhu untuk mensucikan diri, niscaya "niat" sholat itu sudah muncul di dalam hati. Tapi Islam mengajarkan umatnya untuk mengucapkan, dan detik berikutnya niat itu dijalankan. Jadi nyaris tak ada jeda antara niat, ucapan, dan pelaksanaan dari ucapan itu.

Demikian pula dalam menjalankan ibadah puasa. Begitu bangun dari tidur untuk melaksanan makan sahur (dini hari), sesungguhnya di dalam hati sudah terbetik niat untuk berpuasa. Tapi Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membaca doa menjelang makan sahur:

Nawaitu shauma gadhin'an adaai fardhu syahri ramadhaan haadzihis sanati lillahi ta'alaa. (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, aku berniat puasa sehari penuh besok dalam bulan Ramadhan ini, karena Engkau, ya Allah.)

Begitulah Islam mengajarkan kepada para penganutnya untuk terbiasa menyatukan kata (niat) dan perbuatan dalam satu tarikan nafas. Nyaris tanpa jeda. Jadi, kenapa di negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, kemunafikan (para pemimpinnya) dianggap hal biasa? Semoga pada Ramadhan yang penuh berkah ini umat Islam Indonesia mendapat pencerahan untuk memahami kemunafikan itu perbuatan terkutuk.

Selamat menjalani ibadah puasa. Marhaban, ya Ramadhan!***

Oleh Adhie M Massardi

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini