Brand yang dimiliki Presiden Joko Widodo adalah egaliter, suka blusukan, dan praktis alias tidak bertele-tele. Semuanya transformasikan dalam bentuk revolusi mental.
"Pertanyaan mendasar, sudahkan para bawahannya mengerti dan memahami ruh revolusi mental itu? Bila ada yang menyorot sistem koordinasi antarlembaga pemerintahan tidak maksimal, di sinilah sebenarnya revolusi mental yang diharapkan Jokowi bisa diterapkan," jelas anggota DPR, Andreas Eddy Susetyo.
Andreas menyampaikan dalam diskusi Front Page "Siapa Hambat Pembangunan Jokowi" yang digelar Kantor Berita Politik RMOL di Kafe Dua Nyonya, Jakarta, (Minggu, 14/6). Juga hadir sebagai pembicara M. Misbakhun (anggota DPR RI Fraksi Golkar), Adhie Massardi (koordinator Gerakan Indonesia Bersih) dan Agus Pambagio (pengamat kebijakan publik).
Menurut Andreas, mestinya secara mekanis para menteri berkoordinasi secara rutin baik antar kementerian secara langsung, antar kementerian di bahwah komando Menteri Koordinator atau antar-Menko.
"Namanya saja Menko (Menteri Koordinator), dialah yang memegang kunci koordinasi itu. Kalau semua berjalan dengan baik, bukankah Presiden cukup berkoordinasi dengan Menko saja? Meski tetap dalam periode tertentu Presiden butuh masukan langsung dari Menteri yang bersangkutan," ungkap politikus PDIP ini.
Selama ini terlihat beberapa menteri lambat membaca sinyal yang disampaikan presiden. Padahal Jokowi sepertinya ingin para menteri kreatif dan inovatif tidak perlu menunggu komandonya.
"Hal itu bisa dilihat saat beberapa kali ditanya wartawan menyangkut masalah teknis jawaban yang muncul, 'Tanyakan ke Menteri...' Hal itu bisa ditafsirkan, masak masalah teknis mesti Presiden yang ngurus, harusnya kan selesai di tingkat menteri!" kata Andreas mengingatkan.
Makanya, jika menteri responsif, sebelum hal teknis menjadi pertanyaan wartawan ke Presiden, mestinya sudah bisa mengantisipasi. Sayang antisipasi itu sering terlambat dan kurang bisa menjawab persoalan inti.
"Para menteri dan pembantunya seharusnya sudah secara mekanis merevolusi mental mereka dengan berbagai terobosan yang konsisten dan berkesinambungan. Terasa sekali aneka gebrakan hanya seperti obor blarak (istilah Jawa yang artinya menyala sesaat terang bendarang, habis itu hilang tak ada nyala lagi)," imbuhnya.
Dia mengingatkan, dedikasi dan responsifitas dibutuhkan para pembantu Jokowi. Soal kompetensi mestinya sudah selesai saat audisi sebelum dilantik. Kini saatnya mereka memacu gas dan racing, karena penghangatan mesin sudah cukup.
"Jika sekiranya merasa tidak mampu melakukan racing maka revolusi mental dibutuhkan, yakni minggir atau dipinggirkan. Beri kesempatan kepada yang lain untuk meneruskan," tegasnya.
Karena jauh hari sebelum menjadi menteri pasti mereka paham gaya Jokowi. Harusnya bisa segera beradaptasi. Kalau tidak bisa, risikonya keluar dari arena sirkuit Jokowi”. "Revolusi mental berupa self assessment bagi para pembantu presiden sangat ditunggu. Diperlukan sikap mental yang gentle mengakui kalau memang tidak mampu atau gagal, untuk keluar sirkuit," tandasnya. [zul]
KOMENTAR ANDA