Partisipasi masyarakat yang rendah dalam setiap pelaksanaan pemilu, seperti Pemilu Kepada Daerah (Pilkada) Gubernur, Pemilu Legislatif, dan Pemilu Presiden/wakil presiden beberapa tahun terakhir menjadi bukti bahwa masyarakat sebagian masyarakat menilai bahwa mereka tidak perlu terlibat untuk memilih. Untuk urusan angka partisipasi pemilih yang rendah ini sendiri Sumatera Utara mencatat sejarah dengan angka partisipasi terendah saat Pilkada Gubernur Sumatera Utara 2013 lalu yang dimenangkan oleh pasangan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi.
Berdasarkan hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh KPU Sumut saat itu, suara sah dalam Pilgub Sumut yang berlangsung pada 7 Maret 2013 lalu tersebut, sebanyak 4.861.467 suara, sementara yang tidak sah sebanyak 139.963 suara. Dengan demikian total partisipasi pemilih sebanyak 5.001.430 jiwa. Padahal total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berjumlah 10.310.872.
Ada setidaknya 2 pemilu yang dilalui oleh masyarakat di Kota Medan setelah Pilkada Gubernur tersebut, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada kedua pemilu tersebut terjadi trend peningkatan pemilih menjadi diatas 50 persen.
Positif memang, namun belumlah menjadi jaminan bahwa tren ini akan terus terjadi pada Pilkada Medan 2015. Beberapa faktor kejenuhan masyarakat terhadap sosok pemimpin patut menjadi alasan yang memungkinkan terjadinya tren penurunan. Soalnya, dalam dua periode terakhir pemimpin yang dipilih justru mengakhiri masa jabatnnya didalam penjara karena tersandung masalah hukum. Artinya tata pemerintahan selaku pengatur dari arah pembangunan di kota ini menjadi terganggu.
Hal yang sama terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia yang secara umum juga bisa membuat masyarakat juga enggan untuk terlibat pemilu. Dengan kondisi ini, masih perlukah menentukan pemimpin melalui Pilkada?***
KOMENTAR ANDA