Kontroversi calon panglima TNI yang kontraproduktif bagi perkembangan politik nasional tidak akan terjadi apabila Presiden Joko Widodo diberi tahu bahwa ada konsensus di kalangan pimpinan (politik) sipil dan militer pasca runtuhnya rezim orde baru.
Konsensus yang dibangun pada era pemerintahan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) itu adalah merotasi pimpinan TNI, yang sejak Indonesia merdeka (1945) selalu berasal dari TNI-AD.
Hal ini disampaikan Adhie M Massardi kepada Kantor Berita Politik RMOL hari ini (Jumat, 12/6) menanggapi diajukannya Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo oleh Joko Widodo sebagai calon tunggal Panglima TNI, menggantikan Jenderal TNI-AD Moeldoko.
"Menjaga soliditas TNI dan menjauhkannya dari dunia politik yang sering liar, kotor dan sulit dikontrol itu, memang merupakan langkah pertama yang jadi program utama politik Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4," tutur Jurubicara presiden Gus Dur ini.
Sejarah kemudian mencatat, Presiden Gus Dur memisahkan TNI dan Polri yang semua menjadi bagian dari TNI-ABRI, serta merotasi posisi Panglima TNI yang selama ini didominasi personil dari AD.
Hasilnya, TNI-ABRI yang menjadi bulan-bulanan dalam gerakan reformasi (1997-1999), karena digunakan oleh Soeharto sebagai penjaga dan alat pemukul lawan-lawan politiknya sepanjang 30 tahun kekuasaannya, pelan-pelan mulai hilang dari ingatan publik.
"Bahkan sekarang, TNI dipandang masyarakat sebagai institusi paling bersih dan paling dipercaya dibandingkan dengan seluruh institusi yang ada di negeri ini. Padahal semula, langkah Gus Dur itu dianggap sejumlah jenderal yang tidak paham, sebagai upaya mengerdilkan TNI. Makanya mereka turut berkomplot dalam upaya penjatuhan Gus Dur oleh parlemen," paparnya.
Adhie menjelaskan, maksud Gus Dur merotasi atau menggilir posisi panglima oleh personil dari TNI-AD, AU, dan AL bukan sekadar agar terjadi kesetaraan di antara tiga angkatan itu, karena ketiganya memang satu panji, tapi agar tidak ada intervensi politik dari luar secara vulgar.
"Karena begitu panglima TNI ditentukan dalam proses politik, seperti yang sekarang terjadi di DPR, maka sedikit atau banyak, bakal ada boncengan kepentingan politik dalam tubuh TNI," tegas Adhie.
Untuk posisi panglima TNI ini, Gus Dur memang sengaja melepaskan hak prerogatif presiden demi bersihnya TNI dari kepentingan politik. Itulah sebabnya, Gus Dur tidak setuju bila hal ini diatur dalam UU, karena bisa terjadi berbagai penafsiran.
Apa yang dikhawatirkan Gus Dur itu memang terjadi sekarang. Kata 'dapat' dalam pasal 13 ayat 4 UU 34/2004 tentang TNI (Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan…) ditafsirkan secara politik dan digunakan demi kepentingan si penafsir.
Makanya, demi kepentingan negara-bangsa yang lebih besar, hemat Adhie, biarlah soal penggiliran posisi panglima TNI ini tetap dalam koridor konsensus bersama, yang derajatnya lebih tinggi dari UU. Jadi pasal 13 dalam UU TNI itu hanya dijadikan acuan tertulisnya.
Adhie menduga orang yang mengajukan nama KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo kepada Presiden Joko Widodo tidak memahami hakekat pasal 13 UU TNI itu.
"Karena Joko Widodo tidak tahu dan tidak ada yang memberitahu bahwa ada konsensus (yang sudah menjadi tradisi) dalam menentukan pimpinan TNI, tentu saja dia (presiden) langsung tandatangan dan mengirimkannnya ke DPR," ujar Adhie.
Akibat dari terabaikannya konsensus ini, Adhie melihat justru dampaknya jadi kurang bagus buat Jenderal Gatot Nurmantyo khususnya, dan TNI AD secara umum.
"Seolah mas Gatot berambisi jadi panglima, dan TNI-AD tidak legowo atas rotasi pimpinan TNI. Tentu ini jadi kurang kondusif. Bisa menimbulkan fitnah. Padahal sebagai seorang prajurit, Jenderal Gatot wajib menerima penugasan dari atasan (presiden), apa pun resikonya," katanya.
"Kini terpulang kepada presiden dan DPR. Apakah jalan yang melanggar konsensus dan merangsang timbulnya fitnah ini akan diteruskan? Sebab untuk program TNI secara keseluruhan, siapa pun panglimanya, tetap bisa dijalankan," pungkas Adhie Massardi.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA