IJAZAH adalah bentuk pengakuan. Sebuah penanda yang menegaskan kalau si penerima ijazah telah lulus di tahap pembelajaran tertentu. Konsekuensinya, si penerima bisa naik ke jenjang berikutnya atau dianggap layak mengamalkan kepandaiannya di tengah masyarakat. Dahulu kala, si pemberi ijazah adalah sang guru pengajar sendiri. Ijazah berbentuk ucapan verbal atau benda simbolik tertentu. Di era sekarang ini, ijazah berbentuk kertas sertifikat diserahkan atas nama institusi pendidikan.
Baru belakangan ini, publik heboh soal ijazah palsu. Berawal dari Menristekdikti menggrebek sebuah 'kampus bodong'. Biar kini tindak lanjut Pak Menteri kian mengambang, wacana 'ijazah palsu' menjalar ke berbagai daerah. Apalagi menjelang pelaksanaan Pilkada begini, isunya menjadi komoditi politik yang menarik.
Sebenarnya, di mana letak kepalsuan ijazah itu?
Anggapan umum bahwa ijazah menjadi 'palsu' karena nihil legitimasi pemerintah tidak salah, tetapi tak sepenuhnya benar pula. Hakikatnya, kepalsuan ijazah terletak pada tindakan mengorupsi 'proses' mendapatkannya. Tahap demi tahap pembelajaran untuk kelayakan keilmuan atau keahlian tidak dilalui. Ada kuantitas dan kualitas waktu yang dikorupsi. Ini fatal. Ijazah sebagai alat sertifikasi keilmuan dan keahlian gugur atas nama logika dan kejujuran.
Kalau diibaratkan ijazah seperti buah mangga, maka proses untuk mendapatkannya adalah pohonnya. Buah mangga tidak akan langsung ada. Pohonnya butuh waktu untuk tumbuh dulu. Kalau ada yang mengaku sebagai petani mangga tapi tak punya pohon mangga berarti petani palsu. Ini juga tindakan koruptif. Korupsi simbolik.
Mengamati kehebohan ini, saya dari pojok sini menganggap kita hanya 'pura-pura terkejut'. Bukankah kita sudah terbiasa pada kepalsuan? Bukankah kita lebih menyukai tampilan luar ketimbang isi dalam? Menganggap titel akademik bisa menaikkan status sosial kita? Memandang pendidikan sebagai sarana untuk mendapatkan gelar akademik bukan sebagai arena mengasah hakikat kemanusiaan kita?
Menjamurnya ijazah palsu tak terlepas dari tingginya minat dan permintaan terhadapnya. Seperti dagang, tak mungkin ada barang kalau tak ada pembeli. Sekedar menjadikannya sebagai isu musiman, sekali lagi, menunjukkan ketakseriusan kita menuntaskannya. Ini adalah borok yang mesti disembuhkan segera apabila bangsa ini berniat maju. Penyembuhan secara struktural dan kultural. Struktural, pemerintah harus memperbaiki sistem pendidikan secara menyeluruh agar lebih humanis. Kultural, elemen masyarakat yang peduli mesti terus bergerak menyuarakan urgensi dunia pendidikan kita.
Saat ini, kita seperti memandang cermin. Apa yang terlihat di dalam cermin adalah pantulan wajah kita sendiri. Ijazah palsu hanya sebagian kecil saja dari wajah dunia pendidikan kita. Alih-alih memecahkan cermin lebih baik kita melampaui rasa takut. Ketakutan untuk jujur pada diri sendiri. Jujur bahwa pendidikan formal kita telah salah kaprah sekian lama dan sudah saatnya dibenahi. Sikap ini jauh lebih dewasa ketimbang bermain 'bola pingpong' ijazah palsu.
*Praktisi simbol & meditasi
KOMENTAR ANDA