Kebiasaan Presiden Joko Widodo tidak membaca dokumen yang ditandatanganinya, dan tidak memahami substansi teks yang dibacanya di ruang publik, menambah keanekaragaman masalah dalam rimba persoalan bangsa Indonesia.
Tapi, sebagaimana diungkapkan Adhie M Massardi kepada Kantor Berita Politik RMOL di Jakarta siang (6/5) ini, sejumlah kesalahan Joko Widodo, bahkan soal pembagian traktor kepada para petani yang ternyata diambil lagi karena bermasalah, belum terlalu mengganggu.
Bahkan kesalahan menandatangani Keppres (keputusan presiden) soal kenaikan jatah uang muka cicilan mobil para pembesar negara, atau pidato presiden dalam seremoni peringatan Konperensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tempo hari, yang mengecam World Bank dan IMF seraya tetap mempertahankan kedua lembaga keuangan dunia itu sebagai sumber utang negara, tidak terlalu mengganggu kehidupan ketatanegaraan, dan hanya jadi isu lucu-lucuan di masyarakat.
Persoalan mulai agak fatal ketika dalam peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni (2015) di Blitar, Presiden Joko Widodo membaca teks yang berbunyi: "Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran proklamator kita, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, hati saya selalu bergetar...!"
Agak fatal karena dalam konteks pidato dengan teks ini, Blitar episentrum bergetarnya hati sang presiden, karena kota di Jatim ini (dianggap) tempat kelahiran tokoh yang melahirkan fondasi bangsa (Pancasila). Maka ketika Blitar ternyata bukan tempat kelahiran Bung Karno, bisa dipastikan yang berguncang dalam dada Joko Widodo adalah "getaran palsu" atau dalam istilah sekarang: getaran plastik!
Yang tampaknya bakal berdampak sangat fatal adalah "kesalahan" Presiden Joko Widodo menandatangani Keppres Pansel KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang terdiri dari 9 orang dan seluruhnya perempuan.
"Saya menduga Presiden Joko Widodo dikelabui orang-orang di sekitarnya. Terutama arsitek pembentuk Pansel KPK itu. Jangan-jangan presiden main tandatangan karena ini keppres Pansel KPK itu dikira untuk panitia nasional penggerak ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang memang domainnya kaum perempuan," ujar koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB.) ini.
"Bukan mustahil perancang pansel KPK ini bilangnya kepada presiden sebagai panitia nasional PKK, yang selintas bunyinya mirip KPK. Ini harus ada penjelasan serius, karena pemberantasan korupsi merupakan agenda sangat serius bagi bangsa Indonesia. Bukan agenda main-main," katanya.
"Makanya, apabila Sukardi Rinakit, pembuat teks pidato Joko Widodo di Blitar kemarin itu sudah mengakui kesalahannya, kini kita tunggu pengakuan kesalahan perancang (nama-nama) panitia seleksi pimpinan KPK yang kontroversial itu," pungkas Adhie M Massardi. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA