DIA anak motor? Ya, sangat jelas terlihat dari tampilannya: pakai boot, rompi dan ikat pinggang berbahan kulit, dipadu t-shirt serta jeans. Ada lubang tindik di telinganya, pertanda pernah mengenakan anting.
Nah, karena tampilan nyentrik itu, saya tak menduga bahwa anak motor yang satu ini ternyata tenaga medis. Di komunitasnya, Honda Mega Pro Club (HMPC), pria berpostur sedikit tambun ini akrab disapa Dokter Denis.
Sabtu, 30 Mei lalu, kali pertama saya bertemu dengan Dokter Denis beserta sahabat-sahabat HMPC chapter Medan. Setelah ngobrol-ngobrol singkat di seputaran Lapangan Merdeka, tempat mereka kopi darat (baca: kopdar, istilah yang lazim dipakai anak motor jika sedang ngumpul), saya diundang ke sekretariat mereka di Jalan Kawat IV, kawasan Pulo Brayan.
Ada kekaguman menyaksikan betapa anak motor Kota Medan amat kompak dan amat mematuhi aturan lalu-lintas. Mereka juga selalu menjaga keselamatan berkendara (safety riding). Kelak, budaya tertib anak-anak motor ini dapat menjadi ikon positif dan kebanggaan baru Kota Medan. Namun, dalam tulisan kali ini saya tidak mengurai lebih jauh mengenai visi menjadikan anak-anak muda pecinta otomotif sebagai kebanggaan baru Kota Medan, meskipun hal ini sudah terbangun di benak saya.
Pada kesempatan ini saya lebih fokus mengupas dialog yang terjadi saat berada di Sekretariat HMPC Medan, khususnya setelah Dokter Denis buka bicara mengenai pengalamannya sebagai tenaga medis.
Begini ungkapan Dokter Denis, "Kondisi memprihatinkan juga kami alami selaku tenaga medis. Honor yang menjadi hak kami dalam program layanan kesehatan sering tak dibayarkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)."
Karena itu, lanjut dia, banyak tenaga medis yang ogah-ogahan melayani masyarakat pengguna kartu BPJS. "Fakta ini bukan untuk pembenaran ya. Bila sadar akan sumpahnya, seorang tenaga medis tak boleh bersikap begitu," tegas Dokter Denis pula.
Ungkapan sahabat yang satu ini menambah referensi bagi saya dan kawan-kawan aktivis Serikat Boemi Poetera, yang bersama Forum Kesehatan Masyarakat Medan (FKMM) tengah mendampingi sekitar 13.000 kepala keluarga (KK) berkategori miskin di Medan dalam mengakses program kesehatan BPJS.
Sengkarut penerapan program BPJS pun semakin jelas. Dan, saya seketika befikir satu hal: sesegera mungkin mendorong Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), regulator yang memberi mandat kepada BPJS sekaligus berwenang mengawasinya, untuk melakukan investigasi. Tentu, dalam hal ini teman-teman di Serikat Boemi Poetera dan FKMM tidak berkeberatan menggunakan hak partisipatifnya untuk membantu DJSN.
Jika problem bagi kalangan medis teratasi, Insya Allah, tidak akan muncul masalah lain setelah seluruh warga miskin memegang kartu BPJS. Sebab, kita sama mengetahui betapa pemegang kartu BPJS sering mengeluhkan layanan tenaga medis.
Ir. H. Abdullah Rasyid, ME
Penulis adalah Sekretaris Nasional Serikat Boemi Poetera/Wakil Ketua IKA USU DKI Jakarta
KOMENTAR ANDA