Pemerintah Indonesia diingatkan berhati-hati menangani pengungsi Rohingya dari Bangladesh dan Myanmar yang kini ditempatkan di wilayah Aceh dan beberapa titik rumah detensi imigrasi (Rudenim) di wilayah Indonesia. Ada indikasi kegiatan ini sebagai kedok agar pemerintah Indonesia terpaksa menerima mereka dan membolehkan tinggal dan bekerja di Indonesia.
"Pemerintah harus waspada, karena mereka yang terdampar di Aceh itu menumpang kapal yang diduga dikendalikan sindikat penyelundup manusia," kata Ketua Federasi Pekerja Transport Internasional atau International Transport Workers Federation (ITF) Asia Pasifik, Hanafi Rustandi di Jakarta, Minggu (24/5).
Hanafi mengingatkan, praktek seperti itu terjadi sejak 20 tahun yang lalu. Dimana pengungsi Myanmar di Thailand (yang sebenarnya adalah petani) secara illegal sengaja dipekerjakan di kapal-kapal perikanan Thailand berbendera 'Indonesia' tanpa dokumen apapun. Setelah beberapa bulan kapalnya beroperasi di Indonesia (terutama di wilayah timur Indonesia), mereka dipaksa hengkang dari kapal dan ditinggalkan di beberapa pelabuhan seperti di Tual, Benjina, Ambon, Merauke, Dobo dan Sorong.
"Para eks 'awak kapal' tersebut kemudian berasimilasi penduduk lokal dan hidup sebagai petani atau buruh bongkar muat (B/M) di pelabuhan-pelabuhan perikanan. Data terakhir, jumlah para pengungsi Myanmar eks 'awak kapal' perikanan Thailand di pulau Ambon saja sekitar 500 orang. Mereka tersebar di beberapa desa di pulau Ambon antara lain di Amahusu, Lateri, Passo, Tantui, Laha dan Halong," terangnya.
Hanafi menambahkan, KPI (Kesatun Pelaut Indonesia) punya pengalaman selama 2 tahun ketika harus menampung dan membiayai semua kebutuhan hidup seorang pelaut Birma (second enginer) yang ditelantarkan perusahaan pelayaran Indonesia (PT Bumi Laut).
Kasus ini telah berkali-kali dilaporkan kepada IOM (International Organization for Migration) dan ILO (International Labor Organization) dan UNHCR. Tetapi tidak pernah ditanggapi serius atau lebih tepatnya dibiarkan, sampai akhirnya yang bersangkutan kembali ke Thailand dan bekerja lagi di kapal.
"Yang harus dipertanyakan apa dan bagaimana kinerja lembaga-lembaga PBB yaitu IOM dan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) yang selama ini bertugas mengurus pengungsi dan imigran gelap, karena kasus-kasus human trafficking dan pengerjaan pengungsi secara illegal di kapal-kapal perikanan Thailand bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 2004 KPI telah melaporkan hal itu kepada pemerintah ILO, IOM dan UNHCR,” kata Presiden Eksekutif KPI.
Menurut dia, keberadaan para pekerja migran dari Burma yang terdampar di Tual, Maluku, secara khusus diekspose oleh ITF melalui pembuatan film dokumenter berjudul abandoned, but not forgotten tentang keberadaan para pengungsi Burma dan eks 'awak kapal' yang terdampar di Tual tahun 2008. Film tersebut telah disebarkan ke seluruh dunia.
Selanjutnya, pada tahun 2010, Keith Luse, Senior Professional Staff Member dari Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat, pernah berkunjung ke Tual khusus untuk bertemu dengan para eks 'awak kapal' tersebut.
Sementara itu, para imigran dari Iran, Irak, Afganistan dan Pakistan yang selama ini menjadikan Indonesia negara transit tujuan Australia juga harus segera ditangani IOM dan UNHCR lebih serius. Apalagi merujuk pernyataan pemerintah Australia yang tegas menolak pengungsi dari negara-negara Asia.
"Jangan jadikan Indonesia negara penampung pengungsi. IOM dan Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) harus bersikap dan beraksi dengan cepat dan jelas membantu pemulangan mereka ke negara asalnya, atau mencari negara yang mau menampung. Dan yang lebih penting, tidak menjadikan kasus-kasus pengungsi atau imigran gelap ini sebagai proyek mendapatkan donasi para pendonor," tegasnya.
Saat ini, jumlah pengungsi muslim Rohingya dari Bangladesh dan Myanmar di Aceh sekitar 1.800 orang. Mereka ditempatkan di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Timur.
Terkait soial ini, Hanafi, yang juga Anggota Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) mengingatkan pemerintah agar penanganan pengungsi itu disertai kewaspadaan tinggi. Sehingga kasus yang terjadi 20 tahun lalu di wilayah timur Indonesia tidak terulang di Aceh maupun di wilayah Indonesia barat lainnya.
Mereka didata oleh IOM sehingga punya status sebagai pengungsi dari UNHCR. Bertahun-tahun mereka menunggu kesempatan mendapat status pengungsi dengan suaka politik di negara-negara ketiga, tapi tak ada yang mau menerima.
"Yang menjadi pertanyaan, apa yang dikerjakan oleh PBB melalui organnya yaiyu IOM dan UNHCR," pungkasnya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA