Masyarakat diminta untuk ekstra waspada dan hati-hati dalam memilih beras untuk dikonsumsi. Pasalnya, beras palsu buatan China sudah mulai beredar di pasaran. Bisa jadi beras palsu ini juga sudah masuk ke Indonesia.
"Keterangan dari media Singapura, China sedang memproduksi beras palsu. Beras palsu ini sedang didistribusikan di kota Cina Taiyuan, di Provinsi Shaanxi. Bahkan diindikasikan beras-beras tersebut juga diekspor. Beras palsu ini terbuat dari gabungan kentang, ubi jalar dan resin sintetis yang direkayasa sedemikan rupa sehingga berbentuk menyerupai beras. Beras sintetis ini dinilai sangat berbahaya karena jika dikonsumsi dalam jumlah banyak sifatnya karsinogenik (memicu kanker)," kata Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi, Minggu (24/5/2015).
Ia menilai, masalah peredaran beras plastik merupakan isu yang belum ada klarifikasi kebenarannya dari pejabat resmi pemerintah.
"Jika ternyata memang benar ada peredaran beras plastik, pemerintah harus memberi sanksi berat kepada pemasok, distributor dan pedagang yang memperniagakan beras itu," katanya.
Dirinya meminta, pemerintah harus segera bertindak untuk memastikan ada atau tidak peredaran beras plastik itu. Membiarkan isu beras plastik tanpa identifikasi yang cepat dapat merugikan dan meresahkan semua pihak.
"Uji laboratorium sangat penting dan kata kunci untuk menindaklanjuti isu apakah betul beras itu palsu, apakah ada kandungan plastiknya atau bukan. Secara hukum, jika terbukti benar ada ditemukan beras plasyik maka kepada para pemasok ataupun pedagang dapat diterapkan beberepa undang-undang sebagai sanksi hukum," ungkapnya.
Selain rutin melakukan pengawasan dan pembinaan harus bernyali melakukan advokasi atau menertibkan terhadap berbagai praktik bisnis yang cenderung mengabaikan hak-hak konsumen. Di lain pihak, pemerintah perlu bertindak tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga kepentingan dan hak konsumen terjamin.
"Bagi importir, distributor dan pengecer yang masih membandel menjual produk tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah)," pungkasnya. [ben]
KOMENTAR ANDA