Antropolog Universitas Sumatera Utara (USU) Fikarwin Zuska menyampaikan beberapa analisis yang menurutnya berpotensi menjadi pemicu tindakan bunuh diri seperti yang dilakukan oleh beberapa orang mahasiswa di Medan belakangan ini.
Salah satu faktor yang disebutkannya yakni semakin berkurangnya semangat untuk berbagi antara sesama manusia yang ditandai dengan sifat individualis. Faktor ini menurutnya sangat berpengaruh, mengingat kompleksitas kebutuhan menuntut seseorang harus mampu menjawab seluruh permasalahan yang dihadapinya tanpa bisa berbagi dengan orang lain.
"Sikap individualis ini kadang membuat mereka malu jika harus berbagi. Padahal persoalan yang dihadapinya mungkin sangat besar," katanya, Selasa (19/5/2015).
Akademisi yang saat ini menjabat Ketua Departemen Antropologi FISIP USU ini menambahkan sikap individulis ini juga semakin diperparah dengan berkurangnya nilai sosial mengenai tindakan bunuh diri. Dimana, dalam beberapa peristiwa, bunuh diri justru dianggap sebagai tindakan seorang pahlawan untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak tepat.
"Misalnya mahasiswa di Jakarta yang bunuh diri dengan membakar dirinya untuk menuntut supremasi hukum dan HAM dan berbagai persoalan kemiskinan. Ia dianggap pahlawan padahal disisi lain tindakan itu justru jalan buntu bukan solusi," ujarnya.
Dua faktor diatas menurut Fikarwin juga ditambah dengan semakin menipisnya nilai keagamaan pada setiap individu ditengah masyarakat. Sehingga, dengan mudah seseorang akan kehilangan pegangan dan keyakinan bahwa tindakannya tersebut merupakan tindakan yang memunculkan dosa.
"Karena pada ajaran agama, bunuh diri itu adalah dosa," sebutnya.
Fikarwin menyebutkan, 3 faktor ini sangat membuat manusia menjadi orang yang nekad melakukan aksi bunuh diri dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi. Salah satu solusi menurutnya yakni dengan mengembalikan ajaran bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang harus bersosialisasi antara setiap individu dan juga memperdalam nilai-nilai keagamaan.
"Jangan praktik keagamaan itu hanya sebagai sebuah seremonial saja, melainkan harus ditanamkan lebih dalam ke sanubari," ungkapnya.
Diketahui dalam setahun terakhir secara berturut-turut 3 orang mahasiswa USU melakukan aksi bunuh diri. Kejadian pertama dialami mahasiswa Teknik Kimia USU, Frendis Agustinus Panjaitan, 19 Oktober 2014 lalu. Mahasiswa semester akhir ini nekat gantung diri setelah ditenggarai mengalami depresi berat. Kejadian kedua berlangsung baru-baru ini tanggal 12 Mei 2015 yakni Mario Sianipar (21). Mahasiswa semester IV yang terdaftar di Fakultas Pertanian USU itu ditemukan sudah tak bernyawa lagi akibat jeratan seutas tali nilon di kamar ruko, Jalan Damar, Kelurahan Sei Putih I, Kecamatan Medan Petisah. Mario Sianipar diduga mengalami frustrasi setelah orang tuanya sakit keras di saat adiknya masih akan menghadapi jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kasus serupa terjadi pada Minggu (17/5/2015) ketika seorang mahasiswi Fakultas Hukum USU bernama Elpiana Ambarita tewas gantung diri. Identitas detail korban dan motif di balik aksi tersebut belum diketahui pasti, namun mahasiswi berparas cantik yang berasal dari Parapat itu tercatat sebagai angkatan tahun 2013 dan memiliki prestasi akademis yang sangat baik yang dibuktikan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terakhir mencapai angka 3.8. Ia juga tercatat pernah mengikuti pertukaran mahasiswa nasional di Makassar.[rgu]
KOMENTAR ANDA