KALI ini, saya akan berwacana soal imajinasi. Salah satu kemampuan dasar yang tersimpan dalam kepala manusia. Berimajinasi berarti membayangkan 'hal' yang 'belum ada' tetapi memungkinkan untuk 'ada'. Imajinasi menghasilkan gambaran mental. Gambaran mental inilah yang menginspirasi akal-intelek untuk mewujudkannya. Seperti terciptanya pesawat terbang yang diinspirasi oleh imajinasi 'manusia terbang'. Imajinasi dengan akal-intelek bisa menjalin kerjasama produktif.
Saya ada seorang sahabat. Dia suka kritik film yang ceritanya diambil dari sebuah novel. Menurutnya, film yang dibuat malah menciutkan imajinasi yang ada dalam novel. Jadi sebelum menonton filmnya lebih baik novelnya dibaca dulu. Biar kembara imajinasi tak terdikte sang sutradara film. Inilah saran sahabat saya itu.
Sadar atau tidak, kebiasaan menonton televisi punya dampak kurang baik. Penonton terlampau dimanja oleh tayangan televisi. Atas nama 'hiburan', kita memasrahkan diri pada altar televisi. Perangkat nalar kritis yang kita punya dinonaktifkan sejenak. Cukup rebahkan badan, pasang mata dan telinga. Selanjutnya, biarkanlah televisi menjejali pikiran dan imajinasi dan otak kita pun semakin tak terlatih berpikir jangka panjang. Semakin hari, kita makin seperti anak kecil yang terus 'disuapin' televisi.
Lain lagi di dunia pendidikan formal. Potensi imajinasi peserta didik didiskriminasi lewat pengelompokan mata pelajaran. Mata pelajaran terbagi dua kelompok: penting dan tidak penting. Termasuk pelajaran yang 'penting' adalah matematika, biologi, fisika, kimia dan ilmu eksakta lainnya.
Pelajaran tergolong 'tak penting' adalah ilmu humaniora (kesenian, bahasa dan sastra, dan lainnya). Di ilmu eksakta, imajinasi bukan diabaikan tapi jadi prioritas paling akhir dan sama saja artinya diabaikan. Di ujian penentuan kelulusan pun, peserta didik hanya perlu menghafal pelajaran karena hanya perlu memilih jawaban berganda. Kegiatan menulis kreatif semacam penulisan esai kurang mendapat perhatian di sekolah kebanyakan.
Akibatnya kultur membaca (sebagai proses memahami bukan sekedar menghafal) dan menulis sangat minim bahkan di jenjang perguruan tinggi.
Coba bayangkan, kalaulah dulu para pendiri bangsa ini rendah kadar imajinasinya. Tentunya, mereka tidak akan mampu merumuskan bermacam perangkat negara yang imajiner itu. Tidak akan ada dasar negara karena tak mampu memproyeksikan praktik negara merdeka. Tidak akan ada lambang negara karena tidak punya daya kreatif.
Atau barangkali tidak pernah berani merebut kemerdekaan dari tangan penjajah karena tidak mampu membayangkan nikmat rasa merdeka di tanah air sendiri.
Biar bagaimana pun, pembangunan sumber daya manusia itu lebih utama. Kualitas manusianya menentukan tumbuh kembang peradaban. Salah satu manifestasi kesempurnaan manusia ialah kemampuannya 'melampaui' realitas yang kini sedang dijalani.
Menciptakan visi yang barangkali saja belum bereksistensi tetapi dengan akal-intelek dan daya upaya bisa diwujudkan nyata oleh manusia itu sendiri. Berbahagialah manusia yang memerdekakan imajinasinya. [***]
Penulis adalah praktisi simbol & meditasi
KOMENTAR ANDA