MANUSIA cenderung ingin melupakan masa lalu. Terutama peristiwa masa lalu tak mengenakkan. Dipersepsikan sebagai kenangan buruk. Dianggap buruk dan tak ingin ada pengulangan lagi. Baik di saat ini dan di waktu yang akan datang. Masa lalu biarlah masa lalu, katanya.
Di setiap akhir kelulusan sekolah, selalu ada peristiwa 'corat-coret'. Para siswa saling mencoret (atau, lebih cocok 'menyemprot cat') satu sama lain. Suasananya penuh luapan kegembiraan. Gairah eforia yang seakan melepaskan ketegangan diri, entah karena lulus ujian atau gembira karena terbebas dari semacam kurungan bernama 'sekolah'. Sayang sekali, seragam sekolah yang 'ternoda' tak bisa dipakai lagi. Kalau pun tidak dipajang di etalase pribadi 'kenangan masa sekolah', maka tak lebih sekedar limbah.
Menurut saya, 'corat-coret' mengabarkan dua hal. Pertama, 'ritual tahunan', dan, kedua, sebagai 'ekspresi pelepasan'. Sebagai 'ritual', seringkali tidak sedikit dari pelaku yang belum memahami esensinya. Corat-coret ada karena memang telah sedemikian adanya. Sudah dipraktikkan para senioren terdahulu. Seolah-olah wajib dilakukan di akhir kelulusan. Soal 'mengapa' dilakukan (?) itu belakangan.
Sebagai 'ekspresi pelepasan' tampak jelas warnanya pada bahasa tubuh pelaku corat-coret. Luap gempita kegembiraan mengisyaratkan ada emosi yang tertahan selama ini. Seperti sebotol minuman bersoda yang terlepas tutupnya. Atmosfer kebebasan menguap di sekeliling para peserta corat-coret. Entah terbebas dari rutinitas bangun pagi dan masuk kelas, upacara bendera, seragam sekolah, tugas rumah, atau barangkali suasana belajar-mengajar yang cenderung monolog.
Namun, dari kedua hal tersebut, mengerucut pada mentalitas umum. Corat-coret adalah peristiwa yang menggambarkan minimnya nuansa perenungan reflektif. Pengalaman masa sekolah sebagai fragmen sejarah kehidupan dicorat-coret. Coretan di seragam sekolah merepresentasikan persepsi generasi muda pada institusi pendidikan formal. Sekaligus pula menceritakan bagaimana generasi muda itu mengapresiasi pembabakan hidupnya. Merasa siap menyongsong masa depan sembari 'melupakan' masa lalu. Masa lalu biarlah masa lalu, katanya. Pembiaran masa lalu bernada abai mencirikan mental ahistoris.
Fragmen masa lalu itu, sesungguhnya, menyediakan ruang perenungan reflektif. Dimaknai sedemikian rupa agar mampu merumuskan strategi kehidupan masa kini dan depan nanti. Bukankah masa kini itu tiada tanpa masa lalu? Dan, masa depan itu tiada tanpa masa kini?
Entah sampai kapan kita akan terus 'melupakan masa lalu'. Melupakan ini, melupakan itu. Melupakan janji sini, melupakan janji situ. Melupakan semua, sampai pada akhirnya melupakan diri sendiri. Lupa diri.
*Praktisi simbol dan meditasi
KOMENTAR ANDA