SELAMA Konferensi Asia Afrika (KAA) terlihat sekali keakraban antara Presiden Jokowi dengan Presiden Xi Jinping dari China. Bahkan tertangkap kesan, Perdana Menteri Shinzo Abe dari Jepang seperti tersisihkan. Karena saat ini hubungan Xi-Abe sangat dingin, keakraban Xi-Jokowi bisa berdampak geo-politik-ekonomi (GPE) yang serius.
Potensi manfaat politik ekonomi dari keakraban tersebut sangat besar bagi Indonesia. Karena itu, saya sangat mendukung langkah Presiden Jokowi di atas. Apalagi terdapat kabar bahwa dua bank China siap memberi pinjaman 50 miliar dolar AS bagi Indonesia.
Meski demikian, saya mempunyai beberapa catatan agar Indonesia tetap hati-hati dan seimbang dalam percaturan GPE global yang bergerak dinamis. Seperti kata pepatah, jangan sampai "beruk di rimba disusui, anak di pangkuan dilepaskan".
Pertama, hubungan tersebut perlu dijaga tetap seimbang. Jangan sampai Indonesia sekedar menjadi satelit untuk memenuhi kepentingan jangka panjang China.
Dewasa ini China sedang mentransformasi pembangunan ekonomi jangka panjangnya. Jika semula ekonomi China bergerak dalam rejim pertumbuhn super-tinggi bahkan sempat dua digit, sekarang China "mendinginkan" ekonominya ke dalam rejim pertumbuhan tinggi tapi sustainable pada level sekitar 7 persen. Presiden Xi adalah pelopor dari transformasi signifikan ini.
Pertimbangannya antara lain, laju pertumbuhan yang terlalu tinggi membuat konsumsi energi dan mineral China tumbuh di luar kendali, sehingga China menjadi sangat rentan terhadap defisit pasokan energi dan mineral. Kondisi ini memberi risiko strategis yang besar bagi China. Selain itu, China merasa terlalu tergantung kepada ekspor sebagai sumber pertumbuhan, sehingga perlu berdiversifikasi ke konsumsi domestik.
Sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa terhada Rusia sebagai buntut krisis Ukraina menjadi rahmat tersembunyi bagi China dalam proses transformasi ini. Rusia yang menoleh ke China akhirnya bersedia meneken kontrak pasokan gas Siberia ke China senilai 400 miliar dolar AS selama 30 tahun. Padahal negosiasi kontrak ini sempat buntu selama 10 tahun lebih karena perbedaan formula harga yang tajam antara kedua negara.
Bagi China, Indonesia menjadi sumber gas, mineral, komoditi primer lain, dan sekaligus pasar ekspor. Dengan adanya kontrak gas Siberia, pasokan gas bagi China sebenarnya relatif lebih aman. Namun China tetap perlu mendiversifikasikan pasokan gas-nya, termasuk misalnya dari ladang gas Tangguh.
Demikian juga dengan batubara dan mineral seperti nikel, bijih besi dan sebagainya. China mengejar mineral-mineral tersebut dari Afrika, namun Indonesia lebih dekat geografisnya dan cukup kaya mineral.
Jadi, dalam konteks transformasi ekonomi China, Indonesia menjadi bagian dari diversifikasi sumber gas, mineral, komoditi primer lain dan pasar ekspor. Tentu fakta bahwa Indonesia berada di jalur Selat Malaka dan isu Laut China Selatan masuk dalam hitungan China. Namun, China sudah mengambil langkah mengurangi ketergantungan terhadap Selat Malaka dengan kerjasama Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC - China Pakistan Economic Corridor).
Dengan realitas di atas, jangan sampai, keakraban Jokowi-Xi membuat Indonesia justru lebih memilih ekspor ke China daripada memenuhi kebutuhan domestik, seperti yang terjadi pada gas alam. Akibatnya antara lain, industri pupuk dan keramik kita kesulitan pasokan gas alam.
Jangan sampai program hilirisasi tambang juga gagal karena mineral mentah dijual ke China. Industri nasional harus tetap menjadi prioritas supaya tidak menjadi korban kemesraan kita dengan China.
Catatan kedua, AS dan Uni Eropa perlu diberi kenyamanan bahwa Indonesia tidak lari dari mereka ke China.
AS dan Uni Eropa memang rewel, bawel, dan cenderung mendikte dalam banyak isu, terutama AS. Sementara China lebih fleksibel. Namun, pasar keuangan dunia tetap didominasi AS, Uni Eropa dan negara pro-Barat lain seperti Jepang dan Singapura.
Jika pelaku pasar keuangan jadi takut karena Indonesia dianggap lari dari Barat, kerugiannya besar sekali. dolar AS menguat sedikit saja, rupiah sudah anjlok 15-19 persen dan membuat stabilitas APBN terganggu karena rendahnya penerimaan pajak.
Bisa dibayangkan akibatnya jika Indonesia ditinggal pelaku pasar karena dianggap terlalu kiri dan terlalu mesra dengan China. Selain itu, AS masih tetap menjadi pasar ekspor utama Indonesia.
Saya melihat pemerintahan Jokowi kurang sreg dengan "lembaga boneka" AS dan Uni Eropa seperti Bank Dunia dan IMF. Saya sendiri sudah sejak lama melawan dominansi kedua lembaga tersebut dalam kebijakan ekonomi Indonesia.
Meski demikian, Indonesia tetap harus bermain cerdas. Indonesia justru harus mampu memaksimalkan keuntungan dari persaingan AS, Uni Eropa dan Jepang versus China. Apalagi saat ini AS dipermalukan karena sekutu utamanya seperti Inggris dan Australia membelot ikut menjadi Anggota Pendiri Asian Infrastruktur Investment Bank (AIIB) yang dimotori China dan ditentang AS.
Intinya, jika cerdas, Indonesia mendapat manfaat. Jika konyol, Indonesia akan terinjak-injak oleh raksasa yang sedang bertarung.
Catatan ketiga, jangan tinggalkan Jepang dan mulai dekati Rusia.
Jepang juga "terkucilkan" dalam kancah AIIB. Selama KAA, PM Shinzo Abe juga seperti tersisihkan oleh Presiden Xi. Tapi jangan lupa, sekitar 1/3 utang Indonesia itu kepada Jepang dan berdenominasi Yen. Jepang juga sudah terbukti menjadi mitra ekonomi yang bisa dipercaya.
Terhadap Rusia, Indonesia terlihat masih menjaga jarak. Saat ini Rusia perlu teman, dan banyak manfaat yang bisa diperoleh dari peningkatan hubungan ekonomi dengan Rusia. Misalnya saja dalam bidang industri pertahanan, dirgantara, metalurgi, perdagangan hasil perkebunan dan sebagainya. Energi nuklir tentu tidak termasuk, karena Indonesia berada pada jalur "ring of fire".
Namun ada catatan, soal Crimea dan Ukraina, Indonesia berpegang teguh pada prinsip integritas teritorial untuk menjaga kesatuan teritorial kita sendiri.
Catatan keempat, jangan sampai manfaat hubungan dengan China hanya dinikmati oleh kelompok usaha tertentu.
Ada beberapa konglomerat yang memiliki lobi sangat kuat di China. Siapa berhubungan dengan siapa sudah menjadi rahasia umum di kalangan konglomerat tersebut. Mereka memang mendorong agar Indonesia lebih merapat ke China. Dengan kekuatan lobinya di kedua negara, proyek-proyek kerjasama dengan China bisa didisain untuk keuntungan mereka, misalkan memberikan capital gain terhadap tanah yang mereka kuasai, memperluas akses pembiayaan dan pasar mereka dan seterusnya.
Jangan sampai negara hanya diperalat mereka untuk memperbesar konglomerasi saja, sementara masyarakat umum hanya mendapat sedikit manfaat.
Kelima, perlu memastikan realisasi program, bukan hanya sebatas MoU.
China baru saja meneken kerjasama dengan Pakistan untuk membangun Koridor Ekonomi China-Pakistan. Nilai investasi yang akan ditanam China adalah 46 miliar dolar AS. Jika dihitung, komitmen pembiayaan regional dari China sudah mencapai 200 miliar dolar AS lebih, baik untuk AIIB, BRICS Development Bank, gas Siberia, Pakistan, Indonesia. Belum lagi untuk negara-negara Afrika, Australia dan lain-lain
Tentu pertanyaannya, bagaimana realisasinya? Sebagai contoh, sebagian proyek di Pakistan sebenarnya sudah disiapkan beberapa tahun lalu. Namun realisasinya masih tersendat hingga sekarang, baik karena faktor China maupun Pakistan.
Hal yang sama bisa terjadi dengan Indonesia. Jadi pemerintah harus aktif agar komitmen-komitmen China-Indonesia benar-benar direalisasikan.[***]
*Ekonom, Chairman DW & Partners
KOMENTAR ANDA