Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana memperbolehkan pemberian imbalan kepada pemilih atau konstituen senilai Rp 50 ribu.
Namun Ketua Umum DPP PPP versi Muktamar Surabaya Romahurmuziy menilai wacana tersebut sebagai bentuk legalisasi money politics atau politik uang.
Menurut politisi yang akrab disapa Romi itu, wacana tersebut sangat luas. Misalnya aplikasi di lapangan justru akan membuat kesulitan Bawaslu atau Panwaslu dalam segi pengawasan.
"Wacana itu hanya akan mempersulit pengawasan pemilu saja, Bawaslu atau Pawaslu justru akan makin kesulitan mengawasinya jika wacana itu dilanjutkan," tutur dia setelah menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) DPW PPP Jawa Timur di Surabaya, dilansir liputan6.com, Kamis (23/4/2015).
Dia menambahkan, wacana itu sama halnya KPU membuka peluang terjadinya politik uang secara besar-besaran. KPU bahkan cenderung tidak akan serius dengan wacana tersebut.
"Jangan sampai peraturan ini dianggap sebagai bentuk legalitas money politics. Dengan aturan KPU tersebut mendeteksinya susah," imbuh Romi.
Dalam membuat peraturan apa pun oleh KPU tidak ada masalah. Asalkan mekanisme pengawasan berjalan dengan baik. Menjelang Pilkada serentak ini yang terpenting adalah bagaimana mekanisme pengawasan.
"Selama pengawasan itu dimungkinkan tidak ada masalah. Jangan sampai peraturan itu bisa dianggap disahkan money politics. Ini yang perlu menjadi cacatan," pungkas Romi.
Sebelumnya pada Selasa 21 April lalu, rapat konsultasi Komisi II DPR bersama dengan KPU menghasilkan kesepakatan mengenai pemberian imbalan apa pun kepada pemilih oleh pasangan calon sah asalkan nilainya tidak melebihi Rp 50 ribu.[rgu]
KOMENTAR ANDA