post image
KOMENTAR
Pemerintah telah berjanji untuk menurunkan angka kematian obu sampai angka 102/ 100.000 kelahiran hidup. Namun hingga kini angka Angka Kematian Ibu (AKI) masih luar biasa tinggi, lebih tinggi dari ketika Millenium Development Goals (MDG’s) dicanangkan yaitu 359/100.000 kelahiran hidup.

Selain infrastruktur yang buruk, sanitasi yang tak memadai,  perempuan hamil mengalami gizi buruk dan beban kerja berlipat, membuat mereka tersisih dari pengambilan keputusan di berbagai tingkatan pemerintahan.  

"Negara juga gagal dalam memberikan layanan kontrasepsi yang aman dan terjangkau, serta melindungi anak perempuan dari praktik kawin di bawah umur dan sunat perempuan," demikian pernyataan Liga Perempuan untuk Keadilan Sosial (LPKS) dalam keterangan terkait Hari Kartini yang jatuh pada 21 April.

LPKS merupakan sebuah kelompok pemerhati isu hak-hak kaum perempuan yang dipimpin Nursyahbani Katjasungkana dan beranggotakan sejumlah perempuan aktivis dan akademisi seperti  Bianti Djiwandono, Chusnul Mar’iyah, Lies Marcoes, Sita Ari Purnami dan Erdiana Noerdin dan lain-lain.

Karena itu LPKS mengingatkan, pertama agar negara menepati janjinya untuk  hadir di hadapan perempuan dan menghapus segala bentuk diskriminasi  berbasis prasangka gender.

"Janji itu bukan saja karena  kita telah meratifikasi Konvenis PBB untuk penghapusan segala bentuk kekerasan atau Confensi CEDAW ( Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) melalui UU no 7/1984, tetapi juga demi amanat Konstitusi negara UUD 45 Pasal 127 yang menyatakan 'Segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali'," tegas mereka.

Kedua negara juga harus mengakhiri sikap masa bodoh terhadap pelanggaran hukum dan penistaan martabat perempuan dengan membiarkan terjadinya kekerasan berbasis prasangka gender; membiarkan terjadinya dualisme hukum antara hukum negara dan hukum agama” yang  berdampak pada sulitnya perempuan berpartisipasi di ruang publik, dan dalam pengambilan keputusan serta dalam pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara.

Ketiga, agar negara memperjelas visi pembangunan hukum yang bertumpu pada pemenuhan hak perempuan untuk dihormati dan  dilindungi serta berkesesuaian dengan kerangka hak asasi manusia. Negara harus berani bersikap atas pelanggaran hak-hak kaum perempuan yang seringkali bersemunyi di balik budaya dan norma ketimuran” namun pada kenyataannya budaya serupa itulah yang sejak  masa Kartini menjadi alat yang efektif  dalam menindas kaum perempuan.  

Keempat LPKS mengusulkan agar pemerintah memutuskan tanggal 17 September sebagai Hari Kesehatan Reproduksi Perempuan dengan mengambil momentum wafatnya RA Kartini 17 September 1904  setelah empat hari melahirkan putranya R. Soesalit dan mengalami pendarahan dan kejang rahim hebat.  

"Wafatnya RA Kartini harus menjadi tonggak kesadaran Bangsa Indonesia untuk  menghapus Angka Kematian Ibu melahirkan sampai ke titik nol," demikian pernyatan LPKS.  [zul]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas