post image
KOMENTAR
SALAH satu fenomena buruk penengakan hukum yang berkembang di tanah air belakangan ini adalah upaya "pengadilan media". Media ditunggangi. Dalam kasus korupsi bahkan tidak jarang pemindanaan terjadi karena arus pemberitaan media.

Fakta semacam ini terjadi di Indonesia. Misalnya dalam kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) di Sulawesi Selatan. Media seringkali menuduh telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 8,8 miliar akibat kasus ini. Andi Muallim menyebutkan dalam pledoinya sebagai korban penegakan hukum yang salah akibat provokasi media.

Kasus semacam ini sungguh sangat disayangkan. Apalagi bila media dibajak untuk menghasut dan bukan lagi untuk menguraikan benang kusut kebenaran. Disaat seperti inilah seperti yang diungkap jurnalis Harian Rakyat, Nyoto, media hanya menyajikan sepertiga kebenaran. Sisanya kebohongan.

Dalam kasus yang hampir sama, hal semacam itu dapat juga dicermati dari kasus dugaan korupsi dana Bansos yang bergulir di Kota Bengkulu. Sejak kasus dana Bansos APBD tahun 2012 dan 2013 mencuat, publik lebih sering digiring dengan "opini pemberitaan" ketimbang fakta hukumnya.

Desakan yang muncul begitu deras untuk mengadili tanpa menghiraukan lagi penegakan keadilan prosedural. Desakan ini bukan saja muncul dari kalangan media tetapi juga dari kalangan kelompok gerakan anti-korupsi.

Sungguh sangat disayangkan bila gerakan anti-korupsi menjadi kontra-produktif dengan penegakan hukum. Karena disaat seperti itulah celah kepentingan politis menjadi mungkin, yakni praktek penegakan hukum yang diseret-seret kedalam ranah politik.

Lihat saja, ketika Kejaksaan Negeri (Kajari) Bengkulu menangkap sejumlah pejabat teras di tubuh pemerintahan, muncul gerakan "pengundulan kepala" dan bukannya gerakan pembetulan (retooling). Gerakan "pengudulan kepala" ini mengindikasikan perjuangan hukum bersifat instan, parsial, dan mencerminkan euforia gerakan yang menari-nari diatas eksekusi hukum.

Celakanya, setelah banyaknya gerakan yang muncul atas kasus ini, anggaran pro-rakyat juga ikut terhenti. Inilah buah dari sebuah gerakan yang hanya melihat praktek korupsi sebagai masalah morald hazard semata, yakni sebagai masalah pribadi, dan bukan sebagai masalah publik (fungsional).

Dari sudut pandang inilah gerakan anti-korupsi menjadi salah kaprah. Karena tanpa disadari, perjuangan yang mereka lakukan telah iku mengamputasi hak yang seharusnya didapatkan oleh rakyat dari pemerintah. Gerakan anti-korupsi hanya menjadi pengawas moral hazard, sementara apa yang menjadi hak rakyat tak pernah diperjuangkan.

Jadi secara tidak langsung, banyak dari media massa dan gerakan anti-korupsi meninggalkan tujuan asalinya, yakni pengabdian kepada rakyat. Tujuan untuk mensejahterakan rakyat akhirnya tidak menjadi lebih penting. Gerakan anti-korupsi terpisah dari upaya mensejahterakan rakyat.

Dalam kondisi ini, media massa dan gerakan pemberantasan korupsi justru ikut melemahkan perlindungan terhadap rakyat. Buktinya, setelah kasus Bansos mencuat pada akhirnya bantuan untuk rakyat terhenti, dan sampai hari ini tidak ada gerakan yang mendesak dilanjutkannya program yang pro-rakyat tersebut dilanjutkan.

Tentu saja kita tak menampik bahwa pengawasan penggunaan anggaran untuk rakyat itu penting. Namun yang harus diingat bahwa ada yang jauh lebih penting ditengah situasi pelemahan ekonomi nasional saat ini yang mengakibatkan turunnya produktifitas dan beban ekonomi rakyat ditengah gempuran kenaikan harga dan pencabutan subsidi bahan bakar minyak, listrik, gas, dan sebagainya.

Bila ekonomi rakyat tergerus dan kemiskinan terus terjadi, maka bisa dipastikan gerakan anti-korupsi menjadi sia-sia belaka. Sebab salah satu penyebab terjadinya praktek korupsi, seperti yang disampaikan oleh sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, akibat tidak seimbangnya antara konsumsi dan produksi. Karena konsumsi kita lebih banyak daripada produksi, maka lahirlah sebuah 'benua' yang namanya korupsi. Produktifitas kita dihancurkan, konsumeritas kita terus digosok melalui berbagai sarana.

Dalam perjuangan anti-korupsi adakah media dan gerakan yang sungguh-sungguh membela rakyat? Ini menjadi menarik. Sebab, tidak ada gerakan yang membela dan hadir ditengah rakyat ketika anggaran untuk program pemberian kredit lunak bagi usaha kecil seperti Dana Bergulir Satu Miliar Satu Kelurahan (Samisake) di Kota Bengkulu dihentikan.

Beranjak dari hal tersebut, beberapa catatan penting bisa diajukan agar gerakan anti-korupsi tidak salah kaprah. Pertama, gerakan anti-korupsi seharusnya tidak mengabaikan keadilan prosedural yang dapat menjamin kebenaran diperoleh dengan baik.

Kedua, gerakan dan media massa tidak boleh hanya membebek pada penegak hukum, tetapi harus dapat memberikan perspektif perjuangan anti-korupsi yang benar-benar bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat.

Ketiga, media massa dan gerakan anti-korupsi yang independen harusnya dapat mengungkap kerugian materil (kerugian negara) sehingga semangat gerakan yang ada tidak dibajak atau tersandera oleh kepentingan politik tertentu.

Keempat, gerakan anti korupsi juga dapat memusatkan pada upaya melahirkan institusi penegak hukum yang bersih, dan bukannya menyandarkan diri pada sebuah institusi hukum yang buruk dan korup. Sebab sistem demokrasi kita tidak memungkinkan rakyat untuk memilih sendiri aparat penegak hukumnya.

Kelima, gerakan anti-korupsi yang utama dapat melindungi kesejahteraan rakyat sehingga dapat mengungkap "potensi loss" yang merugikan negara baik dari anggran APBD, maupun dari sumber eksploitasi kekayaan daerah oleh perusahaan asing.

Keenam, gerakan dan media massa harusnya bukan saja menjadi "tukang kritik", tetapi juga harus dapat menjadi mata air inspiratif dalam mendukung peningkatan ekonomi rakyat dan pembangunan daerah. [***]

Penulis adalah Deputi Analisis Kebijakan Publik Institute of Social Justice (ISJ)

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini