Hasil survei yang kabarnya merekam persepsi publik terkait dengan kepemimpinan di tubuh PDI Perjuangan yang pada April mendatang akan menggelar Kongres sangat ambivalen. Di satu sisi misalnya, publik mengakui keberhasilan Megawati memimpin PDI Perjuangan. Namun di sisi lain, sebagian besar publik tak menginginkan Megawati kembali memimpin PDI Perjuangan.
Demikian disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Haryadi, kepada Kantor Berita Politik RMOL (Senin, 23/3).
"Dalam survei-survei itu memang tak ditanyakan kepada publik bagaimana reaksinya jika internal PDIP ternyata masih membutuhkan Megawati sebagai pemimpin partainya? Disinilah tampak ada pengetahuan dan kebutuhan yang tak nyambung antara publik di luar partai dengan kader dan simpatisan PDIP. Sebagian besar publik di luar partai lebih banyak menerima informasi semu via media," jelas Haryadi.
Haryadi menilai, informasi tentang partai seringkali lebih mencerminkan realitas media daripada realitas faktual partai. Sehingga wajar sebagian besar publik memiliki persepsi sendiri berdasar informasi media. Sementara kader dan simpatisan PDI Perjuangan mempunyai pengalaman dan pengetahuan autentik tentang dinamika partainya, dan meyakini kepemimpinan Megawati masih diperlukan untuk menuntaskan konsolidasi partai dan sekaligus menjaga kinerja Presiden Jokowi sebagai petugas partai.
"Jadi, keberadaan kepemimpinan Megawati bagi PDI Perjuangan merupakan keharusan untuk persiapan transisi kepemimpinan partai lima tahun ke depan. Saya kira Megawati ingin memastikan konsolidasi, pondasi ideologi, dan regenerasi kepemimpinan partai sebesar PDI Perjuangan tak boleh serampangan," ujarnya.
Menurut Haryadi, titik paling krusial bagi survival dan masa depan partai adalah pada pemungkasan konsolidasi partai era transisi kepemimpinan. Untuk kebutuhan itu, Megawati memang masih harus memimpin PDI Perjuangan.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA