Dengan nama Tuhan yang telah menurunkan hujan malam ini.
Maafkan aku Dik. Setelah beratus-ratus pucuk surat yang kau kirimkan padaku, dan hanya beberapa yang sempat kubaca, maka akhirnya aku tulisan ini sebagai balasan jutaan bait puisi yang telah kau tulis.
Sebagai pembuka, aku ingin kau tahu, mengapa aku menuliskan kisah ini. Dua hari lalu, sahabat baikku baru saja mendarat. Dia membagikan kisah petualangannya padaku selama berada di tengah lautan. Di saat bersamaan, dia kemudian teringat pada sebuah dongeng yang pernah didengarnya. Maka inilah dongeng temanku itu:
Ketika aku kecil, seorang tukang cerita pernah berkisah padaku. Wak Leman, demikian namanya. Wak Leman adalah tukang dongeng. Dan ketika itu, 1967. Banyak orang yang mendadak gila di tahun itu. Gila karena karut marutnya politik di negeri ini, gila karena kehilangan keluarga, ataupun gila karena tak bisa makan nasi. Dan Wak Leman adalah orang yang gila karena tiga hal tersebut.
Namun meski dia gila, banyak juga anak-anak yang suka dengannya. Terlebih Wak Leman ini banyak cerita. Ketika itu, aku pun suka dengannya. Mula-mula anak-anak di kota kami melemparinya dengan batu, kemudian mengejeknya dengan kata-kata yang tak mungkin dipelajari di rumah. Namun akhirnya ada timbul juga rasa iba kami. Terlebih Wak Leman tak pernah marah dan selalu tersenyum ramah. Bukan itu saja, dia juga lihai berdongeng. Karena kebisaannya itulah, kemudian aku dan beberapa teman kecilku menobatkannya sebagai tukang dongeng.
Dik Arsi, sampai di sini, apakah kamu mengikuti kisahku? Aku harap kau akan suka dengan cerita temanku yang pelaut ini. Aku akan melanjutkan kisahku tentang dia padamu:
Awalnya Wak Leman sempat dicurigai sebagai salah seorang dari bagian antek partai terlarang. Namun setelah semua warga yakin kalau Wak Leman yang orang asing itu ternyata hanya seseorang yang hilang kewarasan, maka para orang tua di kota kami tidak melarang anaknya dekat-dekat dengan Wak Leman.
Suatu ketika di tahun yang sama, Wak Leman mengisahkan sebuah dongeng pada kami. Demikianlah dongeng Wak Leman:
Di jaman para dewa masih menetap di atas bumi, salah satu diantaranya, Dewa Awan. Dewa ini adalah dewa yang menguasai langit dan mengatur hujan. Bahkan tidak ada satu dewa pun yang bisa intervensi atas kehendaknya. Termasuk dewa Bayu dan Dewi Anjani. Oleh karena kekuasaannya, Dewa Awan begitu digdaya. Saking digdayanya dia merasa mampu melakukan apa saja. Akibatnya, dia menjadi sombong dan tentulah dijauhi para dewa yang lain.
Dik Arsi, ketika aku menuliskan cerita ini padamu, yang terbayang bukanlah wajah temanku, akan tetapi aku membayangkan ketulusan wajah Wak Leman yang hilang kewarasannya itu. Aku akan lanjutkan cerita ini.
Telah disebutkan bahwa Dewa Awan memang sombong. Keras hati dan berkepala batu. Dia suka pamer kekuatan. Dia ciptakan hujan yang deras sehingga satu negeri menjadi karam dan tenggelam. Dia tahan hujan, sehingga sebuah negeri menjadi gersang dan mati pelan-pelan. Akhirnya para dewa yang merasa terganggu oleh perbuatan Dewa Awan melakukan sidang. Dewa Awan mesti diberi pelajaran.
Namun tidak ada satu dewa pun yang berani memutuskan nasib Dewa Awan. Sebab dewa yang satu ini memiliki kesaktian dan kepintaran melebihi dewa yang lain. Maka para dewa hanya memutuskan pada nasib dan yang menciptakan takdir.
Suatu peristiwa terjadi di muka bumi. Ketika itu, Dewa Awan tengah mempertontonkan kekuatannya kepada sebuah kaum. Dikirimnya hujan yang maha lebat. Dalam tempo limabelas menit sebuah negeri telah terendam hujan. Rumah-rumah hanyut bagaikan dedaunan, penduduk kocar-kacir menyelamatkan diri ke pegunungan. Dengan gembira Dewa Awan terus mengirimkan hujan ke negeri itu. Sementara Dewa Bayu dan Dewi Anjani hanya bisa menahan tangis karena kelemahan mereka.
Ketika itulah, peristiwa yang akan merubah takdir Dewa Awan dimulai. Dari sekian banyak penduduk yang panik, pandangan Dewa Awan tertuju pada seorang gadis.
Arsi, Dewa Awan terpikat pada gadis itu dengan alasan yang tak bisa dimengerti oleh semua mahluk di bumi pada saat itu. Kamu percaya, Sayang? Bahwa cinta bisa mengubah semuanya? Sampai di sini mungkin kau tak akan percaya. Maka baiklah, aku akan melanjutkan kisah temanku.
Gadis itu bukan gadis biasa. Dia adalah Dewi penguasa lautan yang berganti rupa sebagai manusia. Di tengah hujan deras, Dewa Awan turun dan menghampiri gadis itu. Dengan pongah dia bertanya pada perempuan itu yang diam seakan menunggu banjir menelan tubuhnya. Berkatalah Dewa Awan kepada Dewi Laut yang tengah murung.
"Kau sedih, karena negeri ini kutenggelamkan?" tanya Dewa Awan. Dewi Laut masih menundukkan wajahnya. Dia seperti tak menghiraukan kata-kata Dewa Awan. Lalu dengan sombong Dewa Awan meneruskan kata-katanya. "Inilah takdir bagi orang-orang yang tidak mensyukuri hidup. Setahun yang lalu mereka mengalami kekeringan yang sangat kerontang. Hampir-hampir penduduk ini menjadi kerakap yang tumbuh di batu. Lalu sambil mengemis, mereka mengundang hujan. Segala upacara dilakukan. Sesaji dan pengorbanan mereka persembahkan. Untuk sesaat mereka menjadi mahluk yang sangat tergantung pada tetangganya. Benih cinta justeru bersemi ketika cuaca panas senggagar. Oleh karena cinta itu, maka pelan-pelan aku kirimkan hujan yang bisa menumbuhkan batu menjadi pohon, pasir menjadi bulir-bulir padi. Sungai yang dipenuhi ikan, dan dari sana ternak mereka akan hidup dan berkembang biak".
"Namun setelah enam bulan, mereka berubah seratusdelapanpuluh derajad. Mereka lupa dengan cinta yang dulu mereka miliki. Hujan yang kukirimkan telah membuat manusia-manusia itu menjadi mahluk yang kufur nikmat. Mereka sibuk dengan tanaman dan ternak masing-masing. Mereka telah melupakanku, lupa pada yang telah menurunkan hujan," lanjut Dewa Awan.
Dewi Laut masih termenung. Tak lama, dari atas sebilah papan yang ditumpanginya, dia bertanya pada Dewa Awan. "Sekarang kau tentunya puas?"
Maka dijawab oleh Dewa Awan bahwa dia sangat puas. Puas telah memberikan pelajaran pada manusia yang ingkar.
Dengan setengah menangis Dewi Laut berkata pada Dewa Awan, "mereka punya cara sendiri untuk menunjukkan rasa cintanya. Mereka punya cara sendiri untuk mengingat siapa yang telah menurunkan hujan. Lihat betapa mereka bersyukur merawat ladang dan ternaknya. Kamu tidak bijak dengan menuduh mereka sebagai orang yang ingkar, Kau hanya Dewa dan bukan manusia yang merasakan cinta." ujar Dewi Laut.
Ketika itu hujan deras terus turun sehingga satu-satunya daratan yang bisa diinjak hanyalah puncak pegunungan.
"Kau remehkan kebijaksanaanku? Aku yang paling tahu, apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak oleh mereka. Sekarang mereka sudah tak butuh hujan lagi. Lihat saja, mereka semua sudah terpojok di puncak gunung. Mereka mau ke mana? Sudah tidak ada lagi tempat berpijak, tidak akan ada kesempatan kedua. Mereka harus kuenyahkan dari bumi," ujar Dewa Awan disertai guntur yang menggelegar.
"Aku akan menolong mereka," kata Dewi Laut. "Aku akan menampung mereka dan mengantarkan mereka ke daratan yang lain."
"Kau? Akan kukaramkan daratan lain itu pula," sambung Dewa Awan.
"Seberapa banyak daratan yang bisa kau karamkan?" tanya Dewi Laut lagi.
"Semua daratan kalau perlu," dengan sombong Dewa Awan menjawab. Dewi Laut menangis. Tangisannya disambut langit dengan petir yang membahana.
"Suatu hari kau akan mengerti apa itu cinta." ujar Dewi Laut sambil menceburkan dirinya ke dalam air. Dewa Awan terkesiap. Dia terkejut.
Arsi, di sini sedang musim hujan. Hujan terus turun sepanjang hari. Pernah sekali waktu air hujan masuk ke lantai bawah. Namun hanya sebentar peristiwa itu. Dengan tangkas pemerintah di kotaku mengeringkan air hujan dan mengirimnya entah ke mana. Aku masih akan di sini dan akan terus di sini, Sayang. Sebab aku yakin hujan tak akan mampu menenggelamkan kota ini.
Baiklah, aku tak akan memperpanjang rasa sakit hatiku pada kota kita. Aku akan lanjutkan kisah temanku itu yang seorang pelaut.
Setelah peristiwa itu, Dewa Awan terus memikirkan kata-kata Dewi Laut. Muncul di pikirannya sebuah hal yang gila. Dewa Awan ingin menjadi manusia. Seorang manusia yang akan kekeringan bila hari panas dan basah pada saat kehujanan. Setelah ditentukan, maka pada hari itu, Dewa Awan berubah wujud menjadi manusia. Seorang pemuda yang miskin dan tak berdaya.
Maka tibalah dia pada sebuah negeri yang tengah dilanda perang saudara. Tak ada seorang pun yang mampu menghentikan perang saudara itu. Ketika dia tiba di sana, sebuah kelompok yang bertikai berhasil menangkapnya. Dewa Awan disekap dan interogasi dengan ketat. Tak jarang tubuhnya yang lemah dijadikan sasaran pukulan yang bertubi-tubi. Dewa Awan marah, namun apa daya, dia tak bisa melakukan apapun. Susah payah dia berusaha melarikan diri, namun setelah berhasil, sekelompok lain dari mereka yang bertikai berhasil menangkapnya dan menuduhnya sebagai antek-antek musuh. Sekali lagi Dewa Awan harus merasakan pahitnya menjadi mahluk yang tak berdaya. Di dalam ruang tahanan dia berpikir.
Mengapa bisa manusia saling membunuh sesama? Bukankah yang memiliki kekuasaan atas manusia adalah Sang Hyang Memiliki Takdir? Pihak yang satu menuduh pihak yang lain adalah pencoleng, sedangkan yang lain sebaliknya, menuduh pihak pertama sebagai pencoleng yang asli. Tak sadar, Dewa Awan menangis. Itu adalah tangisan pertamanya selama menjadi manusia. Dia teringat tentang nasib warga yang terjepit diantara peperangan dua kelompok itu.
Dia menangis ketika melihat perempuan-perempuan menjadi korban perang. Anak-anak menjadi yatim piatu. Tangisannya semakin keras tatkala dia mengingat sekolah dibakar dengan kejamnya. Dia sedih karena nanti orang tak akan lagi mengingat dirinya akibat buku-buku sudah habis dibakar.
Tatkala dia sedang menangis, tiba-tiba Dewi Laut datang. Dengan gulungan ombak yang maha dahsyat dia lumat negeri itu. Dia telan apa saja yang ada di depannya. Termasuk ruang interogasi Dewa Angin. Habis, semua hanyut digulung. Dewa Awan berenang-renang menyelamatkan dirinya. Sekali lagi dia menangis. Karena yang dilihatnya ternyata bukan kelompok-kelompok bersenjata yang tengah bertikai, tetapi warga tak berdosa yang hanyut ditelan Dewi Laut.
Manisku, aku sedang tidak teringat pada kota kita. Aku sedang bercerita tentang kisah temanku yang beberapa hari lalu mampir di kotaku. Maaf kalau ternyata surat ini hanya membuatmu kembali luka. Tapi aku harus mengisahkan ini padamu. Biar engkau mengerti perasaanku yang sebenarnya saat ini. Aku akan lanjutkan kisah Wak Leman itu.
Ketika ombak surut, Dewa Awan turun dari atap rumah yang telah kosong ditinggal penghuninya. Dengan langkah lungkrah, dia pergi ke pantai. Dia menyeru kepada Dewi Laut. Dia marah kepada ombak yang telah membuat penduduk tak berdosa mati kembung di halaman rumahnya.
Maka muncullah Dewi Laut dari tengah-tengah samudera. Masih seperti dulu, dengan wajah sedih dan tertunduk, Dewi Laut datang kepadanya.
"Sekarang siapa yang lebih tidak mengerti apa itu cinta?" Tanya Dewa Awan. Dewi Laut menangis kemudian menjawab. "Kamu,"
Dengan heran dan menahan tawa, Dewa Awan membalas, "Apa yang telah kau perbuat dengan warga yang tak berdosa? Mengapa bukan kelompok bersenjata itu saja yang kau lumat?" tanya Dewa Awan.
"Aku tidak bisa menenggelamkan mereka." Jawab Dewi Laut.
"Mengapa tak bisa? Kau punya kuasa untuk mengirimkan semua air yang ada di tengah lautan sana ke darat. Kau bisa menenggelamkan gunung. Mengapa tak kau lakukan itu?” Tanya Dewa Awan. Dewi Laut menangis. “Aku tak bisa melakukannya tanpa hujan,"
"Tak bisa? Kenapa?"
"kalau aku pindahkan semua air di laut ke daratan, bagaimana dengan mahluk lain di belahan bumi ini? Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan perlakuanku pada manusia yang bergantung pada laut? Mereka bisa kehilangan cinta. Sementara aku berharap, meski ombak kecilku ini menelan warga tak berdosa, tetapi akan dapat tumbuh cinta di atasnya." Jawab Dewi Laut.
Sayangku, Dewa Awan masih tetap tidak terima dengan alasan itu. Bagi dia, Dewi Laut tidak mengerti arti cinta sesungguhnya.
"Kau tidak tahu apa itu cinta," kata Dewa Awan kecewa.
"Tak kusangka meski kau telah melewati seluruh kepedihan selama menjadi manusia, namun kau tetap tak mengerti juga apa itu cinta," balas Dewi Laut menuding. "Mula-mula kau kirimkan hujan, kemudian kau ambil dia kembali. Kau hanya puas membagi tapi tak pernah iklas memberi." ujar Dewi Laut sambil berlalu ke tengah samudera.
Tinggallah Dewa Awan termangu-mangu sendiri di tepi pantai.
Arsi kekasihku. Seperti kata temanku itu, menurut Wak Leman, sejak itu Dewa Awan menjadi Dewa yang sangat bijak. Meskipun setiap kali hujan tetap ada manusia yang mengutukinya, namun Dewa Awan tetap mengirimkan hujan. Karena hujan adalah puisi cinta yang diberikan Dewa Awan kepada lautan manusia di bumi kita.
Alkisah, honeyku. Tak lama setelah dongeng ini dibacakan kepada temanku, Wak Leman akhirnya ditangkap. Karena dia dituduh sebagai seorang pelarian politik. Mayatnya ditemukan menggembung di Sungai Deli. Aku memang tak pernah paham dengan politik di negeri kita. Tapi aku akan terus berjuang. Meski aku jauh dari tanah kelahiran.
Peluk cium untukmu
Dari kekasihmu di Perbatasan
Obem
Maardhatillah, 25 November 2007
PS: Meski aku sudah selesai mendongeng, hujan masih tetap turun di luar jendela flatku. Arsi, cintaku padamu, mungkin masih cinta yang dulu.
KOMENTAR ANDA