post image
KOMENTAR
LAHIR menjadi orang nomor satu di Indonesia atau sebagai Presiden pada tahun 2004 yang secara sederhana didasari oleh "simpati" masyarakat atas konflik yang terjadi dalam kabinet Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dicitrakan sebagai orang yang "didzolimi" kemudian berhasil meraih perhatian publik.

Perhatian publik kemudian diolah sedemikian rupa oleh berbagai pihak, dan pastinya pemain utamanya adalah media, baik media dominan atau arus utama maupun media sosial. Bisa disimpulkan walaupun terlalu disederhanakan, bahwa SBY adalah anak kandung "politik citra" yang diproduksi oleh media. Istilah yang umum didengar publik adalah, SBY "media darling" di masanya. Persepsi positif media dan terakumulasi pada keyakinan publik ditambah kerja partai pendukung dan para relawan politik akhirnya membawa SBY menduduki jabatan presiden pertama kalinya pada tahun 2004.

Senjata yang digunakan dulunya untuk menumbuhkan kecintaan publik pada SBY, mengalami titik balik di tahun 2011-2012 saat kasus skandal Century mulai mencuat ke publik, ditambah lagi kasus korupsi beberapa kader, dan diperparah kasus Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan kawan-kawannya sesama pengurus Demokrat, keterkaitan SBY dan Bunda Putri, Korupsi di lingkaran keluarga Istana Cikeas. Semua isu tersebut dikupas habis-habisan oleh media, tanpa henti.

Tahun 2013, angin dominasi penghakiman opini publik yang dikonstruksi nyata dan diamini publik, membuat citra positif Demokrat dan SBY sampai pada titik nadir. Sebuah partai yang baru lahir kemudian tiba-tiba menjadi pemenang Pemilu 2004 dengan level "jackpot", tiba-tiba tenggelam oleh derasnya terpaan media dan disambut penghakiman publik di bilik suara tahun 2014. Tragis!

Diantara hiruk pikuk hukuman publik dalam bentuk opini terhadap demokrat, Jokowi lahir dari sebuah tempat "tersembunyi" namun berhasil diintip oleh media. Gebrakan keberhasilan dalam periode pemerintahan sebagai Walikota Solo, keberanian mendorong mobil nasional ESEMKA, dan gaya kepemimpinan yang tidak umum dijumpai oleh masyarakat menjadi santapan media yang disajikan sebagai menu baru dengan citarasa menggugah selera, dan dilahap habis oleh publik hingga membentuk keyakinan -telah lahir pemimpin baru-.

Beberapa pihak mendorong sebuah eksperimentasi politik baru. Dari sebuah kota kecil Jokowi didorong banyak pihak mencoba peruntungan di Jakarta. Lagi-lagi ini eksperimentasi politik atau lebih dekat diberi label political excercise. Dan ternyata eksperimentasi itu membuahkan hasil. Paduan antara citra media, gaya kepemimpian dan strategi kampanye yang dibungkus rapi membuat koalisi partai politik dan calon lawan politik dalam kontestasi Pilgub DKI tahun 2012 bertekuk lutut di bawah kaki perolehan simpati dan suara untuk Jokowi.

Tidak puas dengan eksperimentasi yang berhasil itu, para pecinta pertarungan politik dipadu padankan dengan harapan besar sebagian masyarakat. Satu tahun dianggap cukup untuk membuka peluang eksperimentasi politik baru yaitu Jokowi untuk RI 1. Ini juga bukan sebuah hal yang "ujuk-ujuk" alias simsalabim. Selama masa kepemimpinannya jika ingin dilebih-lebihkan, setiap hari, mulai dari keluar dari pintu rumah kediaman sebagai seorang gubernur, Jokowi tidak pernah lepas dari pantauan media. Bersepeda, bersalaman warga di pasar tradisional yang penuh sesak, sampai aktivitas masuk got, semua terekam apik oleh media.

Publik tidak dapat menghindar dari "sihir" tersebut. Paduan gaya kepemimpinan; sederhana, merakyat, tidak banyak basa-basi serta perubahan yang signifikan yang dialami Jakarta yang disajikan tanpa henti ke ruang-ruang informasi publik membuat popularitas Jokowi tidak terbendung oleh siapapun. Tidak hanya lawan politik yang kemudian menjadi tercengang-cengang. PDIP sebagai pendukung Jokowi untuk Gubernur DKI Jakarta juga dibuat "galau" dengan popularitas Jokowi ini. Sampai-sampai berkembang isu di masyarakat: Jokowi yes! PDIP No! Jika sudah begini, ongkosnya terlalu mahal jika PDIP tetap mendorong Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri untuk tetap maju bertarung dalam Pilpres 2014 yang bisa dipastikan menghadapi Prabowo Subianto yang telah lama menyiapkan diri.

Hasilnya lagi-lagi "strike". Pertarungan Presiden dan Wakil Presiden dimenangkan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla mengalahkan pesaing kuatnya Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Konstelasi dan fakta politik kemudian berubah sedemikian rupa. Keterlibatan para relawan dalam memenangkan Presiden saat itu sangat kuat. Sehingga koalisi Partai-partai besar yang mendukung Prabowo dan Hatta harus mengaku kalah oleh popularitas, hasil kerja Partai Pendukung, dan soliditas relawan untuk kemenangan Jokowi dalam Pilpres tersebut.

Bak sebuah aliran air yang sama, hari ini Ahok mendapat simpati publik melalui media. Walapun Ahok sejatinya melahirkan cara baru dalam meraih simpati publik yang tidak mengikuti "Seniornya". SBY lahir dari strategi politik pencitraan melankolis, Jokowi lahir dari pencitraan dekat dengan rakyat dengan gaya blusukan tanpa konflik, hari ini lahir sebuah cara baru meraih simpati yaitu dengan pendekatan konflik terbuka.

Innovasi cara ini, terlepas dari by design atau sebuah gaya yang natural dari Ahok, membuat media lagi-lagi mabuk kepayang menjadikan Ahok sebagai bahan pemberitaan. Gaya Ahok yang suka berbicara kasar, seringkali disertai umpatan atau kata "brengsek" ditambah dengan gaya yang suka menunjuk-nunjuk orang lain sepertinya menyihir publik untuk bersimpati padanya. Lagi-lagi ini diluar dari kebiasaan seorang pemimpin.

Jika dicermati, fenomena Ahok ini by design ataukah natural dimulai saat setelah melepas kepergian Jokowi sebagai calon Presiden disertai dengan kemundurannya dari Partai Gerindra. Ini hal mencengangkan, Ahok seharusnya mengelus-ngelus partai politik dan anggota DPRD DKI agar memuluskan jalannya menuju kursi DKI 1 tapi malah bukan itu yang dilakukan.

Disinilah awal mula pemberitaan mengenai Ahok mengemuka. Bahkan bisa dikatakan bahwa sejak saat itu popularitas Ahok di media perlahan tapi pasti mengejar sang Gubernur yang siap-siap menyongsong jabatan baru yaitu Presiden RI Jokowi.

Mobilasasi massa menolak pelantikan Basuki Cahya Purnama atau Ahok tidak mampu membendung simpati publik dalam mendukungnya menjadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi. Isu yang dimainkan lawan poilitiknya sepertinya hanya sayup-sayup tanpa daya melawan pelantikan Ahok. Ahok yang diisukan sebagai etnis minoritas, memiliki agama minoritas, dan bahkan sampai dituduh sedang melakukan operasi Kristenisasi juga tidak mampu melawan citra positif Ahok.

Konflik terbuka kasus APBD DKI tahun 2015 masih terus memanas. Seperti pemain judi tangguh, Ahok mempertaruhkan segalanya di meja judi di hadapan publik. Tanpa kompromi, begitu APBD DKI Jakarta 2015 disahkan oleh DPRD DKI, Ahok dengan tegas menolak dan memberi label untuk para Anggota DPRD DKI sebagai "Perampok Uang Negara" dengan menitipkan anggaran siluman Rp 12,5 triliun dalam APBD 2015. Tidak itu saja, dengan ringan Ahok melangkah melaporkan DPRD DKI Jakarta ke KPK dalam Kasus pengadaan UPS dalam anggaran APBDP 2014 DKI Jakarta, dan potensi korupsi dalam APBD tahun 2015.

Ahok lagi-lagi memenangkan pertarungan opini dan citra di ranah publik. Tidak mengemuka ke publik sedikitpun, bahwa Ahok sedang melakukan pelanggaran Undang-Undang dengan mengajukan APBD 2015 bukan hasil pengesahan DPRD DKI tapi hasil buatan sang Gubernur sendiri.Tidak mengemuka juga ke publik bahwa Ahok  adalah pemimpin yang tidak sesuai asas kepatutan umum bahwa Pemimpin harus santun dan lain-lain. Semuah hal negatif tersebut tenggelam dalam "kepercayaan" publik bahwa Ahok sebagai orang yang bersih, tegas dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak khususnya rakyat Jakarta.

Kita lihat saja selanjutnya, apakah Ahok mampu memetik buah citra dirinya seperti SBY dan Jokowi sampai keduanya bisa berkantor di Istana sebagai Presiden? Ataukah tidak akan lama lagi, media dan opini publik akan menghakiminya sebelum mencapai karir tertinggi di Republik seperti yang diterima Demokrat dan SBY di akhir periode pemerintahannya? Wallahua'lam.

Dr. Mustadin Taggala
Doktor Lulusan Psikologi Univeristas Gadjah Mada, Ketua Umum DPP Himpunan Mahasiwa Pascasarjana Indonesia (HMPI).
 

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini