Bayang-bayang krisis ekonomi akibat aksi korporasi saat ini menjadi tren permanen setiap tahun yang menuntut pemerintah untuk terus melakukan upaya pencegahan dan penjaminan.
Sekjen Seknas FITRA Yenny Sucipto mengatakan, yang lebih berbahaya, dalam setiap krisis ekonomi di Indonesia selalu ada aksi kejahatan ekonomi dan korupsi misalnya BLBI 1999 dan Bailout Century 2009.
Parahnya, lanjut dia, ketika kejahatan ekonomi itu terjadi, hingga saat ini belum bisa dituntaskan dengan penegakkan hukum yang serius. Justru, seolah-olah penegak politik dan hukum justru tunduk pada konglomerat yang modal usahanya dari merampok keuangan negara memanfaatkan krisis.
"Untuk BLBI saja, hutangya akan kita bayarkan hingga umur 100 Indonesia merdeka 2045 dengan total keseluruhan beserta bunga yang mencapai Rp. 14.000 triliun uang rakyat," ujar Yenny Sucipto dalam keterangannya, Jumat (20/3).
Untuk itu belajar dari pelemahan rupiah yang terjadi saat ini menembuh angka Rp 13 ribu perdolar AS, potensi krisis ekonomi tetap ada, dan peluang aksi korporasi seperti kasus BLBI sangat kuat terjadi. Korporasi korup di negeri ini bisa sengaja mendorong kiris untuk mendapatkan modal dari negara dengan penanganan krisis.
Mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi, Yenny Sucipto mengatakan ada empat langkah yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah harus memperbaiki paket kebijakan penanganan pemelahan rupiah yang tidak terlalu kuat, jurus lama dan tidak bertahan lama. Kedua, pemerintah harus mengambil langkah lain untuk menguatkan cadangan APBN dengan menyetop pembayaran bunga BLBI yang terus melambung tinggi akibat pemelahan rupiah.
Ketiga, pemerintah dan penegak hukum harus serius menangani kasus BLBI, menyita asset yang masih dioperasikan oleh konglomerat BLBI sehingga menjadi preseden dan efek jera terhadap kejahatan ekonomi. Dan keempat, pemerintah harus mencegah secara internal agar pelemahan rupiah dan potensi krisis tidak menjadi trend permanen yang menjadi sumber permainan spekulan dan konglomerat.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA