Langkah pemerintah akan mengeluarkan insentif pengurangan pajak untuk menekan rupiah, kurang ampuh. Rupiah makin jatuh ke angka Rp 13.200 per dolar. DPR mengingatkan, krisis moneter (krismon) di ambang pintu.
Dalam rapat yang digelar Selasa (10/3/2015) malam, Presiden Jokowi menginstruksikan agar peraturan pemerintah mengenai insentif pajak untuk perusahaan asing di Indonesia segera dikeluarkan guna menekan nilai tukar rupiah.
Namun kemarin, rencana kebijakan pemerintah itu tidak berpengaruh besar terhadap pasar. Nilai tukar rupiah terus rontok dan menembus angka Rp 13.200. Padahal, tidak semua mata uang negara Asia melemah terhadap dolar yang selama ini diklaim pemerintah.
Berdasarkan data Reuters, dolar Singapura setara 1,3 per dolar AS atau menguat sekitar 0,38 persen. Sedangkan baht Thailand setara 32,66 per dolar AS atau menguat 0,18 persen dan rupee India setara 62,76 per dolar AS atau menguat 0,01 persen.
Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, peraturan pemerintah soal insentif pajak akan keluar bulan ini. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan rupiah bisa terkendali.
Sofyan berkilah, rontoknya rupiah karena dipengaruhi oleh sentimen global. Namun, pelemahan ini pun didorong oleh banyaknya perusahaan yang membutuhkan dolar AS untuk membayar utang.
"Fundamental ekonomi indikator cukup bagus. Tetapi bahwa ada perusahaan yang mungkin bayar utang dan lain-lain, itu masalah," jelas Sofyan, kemarin.
Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro berharap, dengan pemberian insentif pengurangan pajak akan bisa menekan rupiah. Menurut dia, dengan perusahaan asing menahan dividen, akan menstabilkan rupiah. Pasalnya, devisanya tetap di dalam negeri
Dia mengatakan, kebijakan ini sebenarnya akan diterapkan tahun lalu. Tapi sayang, terus-menerus tertunda. Oleh karena itu, Bambang mencoba tegas.
"Kemarin saya di rapat bilang, sudah keluarin dulu saja. Kalau mau mengubah bisa nanti," tutur Menkeu.
Bambang menegaskan, melemahnya rupiah juga disebabkan banyaknya transaksi pembayaran pada sektor penyewaan kawasan industri di sekitar Jakarta yang masih menggunakan dolar. Hal itu didapat dari banyaknya laporan yang masuk kepada pemerintah terkait penggunaan dolar.
"Rontoknya nilai rupiah tidak akan mengubah asumsi makro dalam APBN2015," yakinnya.
Bekas Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan, pemerintah atau BIharus konsisten dalam melakukan kebijakan untuk menjinakkan nilai tukar. Menurut dia, kurs itu dipengaruhi oleh sentimen pasar, hiruk-pikuk info dan ada juga yang disebabkan oleh fundamental.
"Yang penting dilakukan itu dengan konsisten, tidak sekadar mengintervensi pasar, tapi dalam bentuk pembelian SUN(Surat Utang Negara). Diperlukan beberapa kebijakan untuk kurs itu, tanya Gubernur BI," kata Darmin.
Darmin menegaskan, fundamental perekonomian suatu negara juga bisa mempengaruhi gerak mata uang negara itu sendiri.
Anggota Komisi XI DPR Willgo Zainar mengkhawatirkan, Indonesia kembali mengalami krisis moneter jika nilai tukar rupiah terus melemah.
"Kalau kita memiliki fundamental ekonomi yang kuat, tidak akan terjadi (krisis). Akan tetapi, kalau lemah, krisis moneter 1998 di ambang pintu," kata Willgo.
Menurutnya, kondisi Indonesia saat ini masih belum kuat. "Selama ini, pemerintah selalu menyebutkan argumentasi bahwa nilai rupiah turun akibat nilai dolar naik. Saya kira anak kecil juga tahu lah," ketusnya.
Willgo juga menekankan, Utang Indonesia bertambah 5 persen akibat nilai tukar rupiah anjlok.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA