Eksekusi mati babak pertama terhadap terpidana narkoba yang dilaksanakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak menciptakan kepuasan publik yang luar biasa.
Sebab, sebelum eksekusi itu dilaksanakan, rencana eksekusi mati terhadap para terpidana narkoba telah "digoreng" media massa dengan menyajikan pemberitaan seputar persiapan eksekusi.
Menurut analis politik, Yunarto Wijaya, selama satu atau dua bulan isu itu menjadi komoditas media yang pada akhirnya memunculkan persepsi berbeda-beda di masyarakat.
"Ada yang menilai kalau kebijakan itu sebagai legacy (warisan) kepemimpinan Joko Widodo. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai pencitraan Jokowi. Bahkan ada yang menilainya sebagai pengalihan isu kenaikan harga BBM," kata Yunarto Wijaya dalam diskusi "Mewujudkan Kedaulatan Bangsa Melalui Revolusi Diplomasi" di Aula Gedung H Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Kiai Tapa, Jakarta, Selasa (10/3).
Dalam konteks penilaian terhadap kinerja, utamanya eksekusi mati yang dikaitkan dengan penegakan hukum, Yunarto mengakui hasil survei yang memberi nilai baik. Menurut survei, publik menilai penegakan hukum era Joko Widodo lebih baik dibandingkan penegakan hukum tahun 2014. Tahun lalu hanya 31 persen publik yang menyatakan penegakan hukum memuaskan, sedangkan tahun ini menjadi 42 persen. Dan sebanyak 53,4 persen publik menyatakan kinerja pemerintahan Jokowi baik dalam pemberantasan narkoba.
Namun, ditegaskan Yunarto bahwa tren positif itu bukan sesuatu yang luar biasa.
"Artinya, eksekusi mati gelombang pertama tidak memberikan pengaruh luar biasa terhadap tingkat elektabilitas Jokowi," tegasnya.
Dalam diskusi tersebut, pembicara lainnya adalah Anggota Komisi I DPR RI, Charles Honoris, dan juru bicara Kementerian Luar Negeri, Armanatha C.Nasir. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA