Sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, angka ini lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yaitu 70 persen. Hasil riset itu dilakukan dan diumumkan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW).
Survei dilakukan pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9.000 siswa usia 12--17 tahun, guru, kepala sekolah, orang tua, dan perwakilan LSM. Riset dilakukan di lima negara Asia: Hanoi (Vietnam), Siem Reap (Kamboja), Distrik Sunsari (Nepal), Distrik Umerkot (Pakistan), Jakarta dan Kabupaten Serang (Indonesia).
Dari riset itu pula diketahui sebanyak 51 persen siswa di sekolah mengaku pernah menyaksikan tindakan kekerasan di sekolah.
Namun menyedihkannya, hanya 30 persen rerata siswa di Asia yang menjadi saksi kekerasan yang melaporkan aksi kekerasan atau berupaya menghentikannya.
Dalam riset itu pula, menurut anak-anak sekolah di Indonesia, 33 persen pelaku kekerasan dilakukan oleh guru. Sementara bagi pelajar yang melakukan kekerasan ditemukan sebanyak 59 persen anak laki-laki.
Bila siswa mayoritas tidak melaporkan aksi kekerasan di sekolah, hal ini disebabkan oleh minimnya mekanisme respon yang terstruktur dan menyeluruh.
Para guru dan orang tua yang disurvei mengakui anak-anak cenderung tidak akan mengadukan kekerasan di sekolah karena khawatir akan menjadi pihak yang disalahkan.
Di sisi lain, mengingat pelaku kekerasan adalah guru atau staf non-guru dan sesama pelajar di sekolah yang sama, korban kekerasan biasanya memilih untuk diam dan tidak mengadukan persoalannya.
Selain alasan tadi, budaya dan tradisi kelokalan juga berpengaruh besar. Di semua negara yang disurvei, diketahui bahwa anak ditempatkan di struktur kekuasaan terbawah di masyarakat. Sehingga hukuman fisik yang keras terhadap anak dipandang sebagai langkah jitu mendisiplinkan anak. [hta/ant]
KOMENTAR ANDA