post image
KOMENTAR
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Langkat akhirnya mengerucutkan ekses alih fungsi hutan mangrove di Desa Perlis, Kecamatan Brandan Barat, hanya pada persoalan kesejahteraan. Ini antiklimaks dari perjuangan warga setempat.

"Saya mengetahui hal ini berdasarkan laporan peneliti Serikat Boemi Poetera yang hadir dalam rapat dipimpin Sekda (Sekretaris Daerah) Kabupaten Langkat. Ini jelas jauh dari pengharapan. Bagi kita kaum bumi putera, alih fungsi lahan mangrove telah mengakibatkan banyak hal negatif, termasuk perubahan struktur sosial dan hilangnya sebuah kebudayaan, ini juga berakibat hilangnya kedaulatan negara Indonesia," ujar Sekretaris Nasional (Seknas) Serikat Boemi Poetra, Ir. H. Abdullah Rasyid, ME, melalui siaran pers resmi Serikat Boemi Poetera, kemarin, Minggu (22/2/2015)

Mengingat kondisi ini, Rasyid –yang juga dikenal sebagai aktivis ’98— mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk turun tangan. Ia sendiri bertekad menggalang kekuatan aktivis untuk mengangkat persoalan ini menjadi pembahasan tingkat nasional.

"Persoalan di daerah pesisir dapat menyasar pada ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam). Ini harus disadari. Karenanya pula, pemerintah pusat tengah menyiapkan sistem tata kelola kawasan pesisir pantai," tambah Rasyid.

Serikat Boemi Poetera, lanjut Rasyid, sejak awal memandang alih fungsi hutan mangrove menjadi kebun kelapa sawit di Desa Perlis sebagai persoalan besar yang mesti segera disikapi. Sebagai langkah awal Serikat Boemi Poetera menurunkan Tengku Zainuddin, salah seorang penelitinya. Hasil penelitian tersebut kemudian dihadirkan pada forum FGD (focus group discussion), untuk mencari solusi.

"Kita awalnya cukup mengapresiasi sikap Pemkab Langkat yang mengutus dua pejabatnya, yakni Sekda dan Kadishutbun (Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan), dalam forum FGD tersebut. Kita berharap penanganan terhadap Desa Perlis dapat menjadi model untuk penanganan hal serupa di daerah pesisir lainnya. Hampir seluruh kawasan pesisir di Indonesia nasibnya sama. Lebih dari satu juta hektare hutan mangrove telah dirusak. Di Sumut sendiri, sebagaimana terungkap dalam forum FGD, hutan mangrove yang semula luasannya mencapai 400 ribu hektare, kini hanya tersisa 38 ribu hektare. Dan, sisa hutan mangrove dimaksud sebagiannya berada di Langkat," jelas pria asal Medan yang sekarang berkiprah di Jakarta ini.

Direktur Walhi Sumut, Kusnadi, juga menegaskan persoalan alih fungsi hutan mangrove tidak boleh dipandang secara sempit. Hutan mangrove merupakan greenbelt (pelindung alami) bagi negara kepulauan seperti Indonesia dari terpaan tsunami maupun abrasi.

Dari sudut pandang ekonomis, lanjut aktivis lingkungan ini, tegakan pohon mangrove jauh lebih bernilai dibanding pohon sawit. Sebab, mangrove merupakan tempat berbiaknya biota laut dan tempat persinggahan satwa yang bermigrasi.

"Kita tahu bahwa tak semua nelayan tradisional kita mampu mengakses laut dalam. Sebagian besar dari mereka bergantung pada biota yang berbiak di laut dangkal. Bila dikelola baik, tegakan mangrove yang menjadi persinggahan satwa bermigrasi merupakan objek wisata menarik," tukasnya.

Menurut Kusnadi, pemerintah daerah cenderung berpikir pendek dalam pengelolaan kawasan pesisir, yakni mendapatkan uang cepat dengan mengubah status kawasan. Inilah yang kemudian dimanfaatkan kalangan pengusaha sebagai modus untuk menguasai hutan mangrove dan menjadikannya kebun sawit.

“Kewenangan mengubah status suatu kawasan amat berpotensi diselewengkan oleh oknum-oknum pemerintah. Sementara, masyarakat pesisir tidak memiliki akses untuk melakukan pengawasan. Makanya kita mendorong terbentuknya sistem tata kelola kawasan pesisir yang memberi kewenangan kepada masyarakat luas untuk melakukan pengawasan,” tandas pria berjanggut ini.

Sekadar diketahui, Tengku Zainuddin dalam penelitiannya menemukan fakta bahwa pembabatan hutan mangrove menjadi kebun kelapa sawit di Desa Perlis telah mengakibatkan hilangnya budaya berburu madu hutan mangrove yang turun-temurun dilakoni warga setempat. Warga Perlis, turunan terakhir yang masih sempat menghidupi keluarganya dari madu hutan mangrove, pun dihadirkan dalam forum FGD yang diselenggarakan Serikat Boemi Poetera di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), 29 Januari 2015. Mereka tegas menuntut agar kebun sawit di desanya diubah kembali menjadi hutan mangrove. Tak ada tawar-menawar!

Sebagai tindak lanjut, 12 Februari lalu Pemkab Langkat mengundang Tengku Zainuddin untuk menghadiri rapat khusus membahas persoalan di Desa Perlis. Sayang, dalam rapat yang dipimpin Indra Salahudin itu, Pemkab Langkat mengenyampingkan fakta perubahan struktur sosial dan hilangnya kebudayaan berburu madu hutan mangrove di Perlis akibat alih fungsi lahan. Pemkab Langkat menyimpulkan hanya perlu menyiapkan program untuk peningkatan pendapatan warga setempat.

Fakta dihimpun Serikat Boemi Poetera, sikap yang oleh masyarakat dipandang lips service terkait persoalan mangrove bukan baru kali ini dilakoni Pemkab Langkat. Pada 17 November 2011 lalu Pemkab Langkat telah melayangkan surat peringatan kepada beberapa pengusaha untuk menghentikan aktivitas alih fungsi lahan di 13 titik kawasan pesisir. Alih fungsi lahan tetap saja berlangsung dan kini ke-13 titik kawasan pesisir dimaksud telah benar-benar berubah menjadi kebun kelapa sawit.[rgu/rel]

FOSAD Nilai Sejumlah Buku Kurikulum Sastra Tak pantas Dibaca Siswa Sekolah

Sebelumnya

Cagar Budaya Berupa Bangunan Jadi Andalan Pariwisata Kota Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Budaya