Niat pemerintah untuk menyelamatkan 229 Warga Negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati bakal sulit terwujud. Pemerintah diminta memperkuat upaya diplomasi untuk meringankan beban hukuman mati.
Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia, Marjaenab menilai, negosiasi pembebasan buruh migran terhambat, lantaran Indonesia menerapkan sistem pidana hukuman mati. Penerapan hukuman mati, sambung dia, menjadi salah satu elemen yang menurunkan posisi tawar pemerintah Indonesia dalam membebaskan buruh migran.
"Bukankah tekanan masyarakat akan muncul pada saat ada WNI atau TKI kita mau dieksekusi mati. Kita semakin sulit meyakinkan negara asing untuk tidak menjatuhkan eksekusi mati terhadap WNI atau TKI kita yang telah dijatuhi hukuman mati, karena negara kita memberlakukan aturan yang sama," ujar Marjaenab saat dihubungi, kemarin.
Dia menambahkan, penghapusan hukuman mati dapat dilakukan melalui moratorium dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penghapusan hukuman mati menjadi satu hal yang tak bisa ditawar lagi, karena jika terjadi kekeliruan (error judiciaire) tidak dapat diperbaiki.
"Moratorium eksekusi pidana mati akan menaikkan posisi pemerintah di dunia internasional. Kritik pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan pidana mati bagi TKIdi luar negeri akan terdengar lebih nyaring, bila di dalam negeri Indonesia menunjukkan sikap adil terkait pengetatan pidana mati," tutur dia.
Direktur Migrant Care Anis Hidayah menyatakan, lembaganya menyesalkan sikap Presiden Jokowi yang melakukan kunjungan ke Malaysia lebih memprioritaskan kerja sama mobil nasional (mobnas) ketimbang memprioritaskan isu TKI. Apalagi, kedatangan presiden ke Negari Jiran itu diawali dengan beredarnya iklan dengan kata-kata yang merendahkan TKI.
"Kami kecewa, isu mobil lebih disuarakan daripada penanganan tenaga kerja kita. Bukankah Pak Jokowi tahu para buruh migrant memberi banyak kontribusi terhadap negara dan keterpilihannya sebagai presiden. Kenapa isu itu tidak dikedepankan?" tegas Anis kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Anis menambahkan, kunjungan Presiden harusnya dimaksimalkan untuk mengkonkretkan prinsip Nawa Cita. Menghadirkan negara sebagai pelindung wara negara yang sedang bekerja di luar negeri. "Apakah Jokowi sudah lupa dengan Nawa Cita? Migrant Care akan terus mendesak dan mengingatkan Presiden agar benar-benar serius memperjuangkan hak-hak buruh migran," tandasnya.
Ketua Komisi IX DPRDede Yusuf juga menyesalkan sikap Presiden Jokowi. Menurutnya, perbaikan kerja sama tenaga kerja dengan Malaysia sebenarnya baik. Tapi, Presiden belum pernah mendengar Jokowi memberikan pernyataan tegas mengenai permasalahan TKI.
"Saya menyesal tidak ada pembicaraan terkait bagaimana sikap Indonesia menegur sikap Pemerintah Malaysia pada pelecehan atau rasialis (iklan menghina TKI). (Jokowi) Yang ada hanya bahas mobil dan antara Menaker Indonesia dan Malaysia yang bicara soal perbaikan kerja sama," kata Dede di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan, hingga saat ini diketahui ada 229 WNIdi luar negeri yang terancam hukuman mati. Melalui rapat terbatas, Jokowi memerintahkan agar diberikan perlindungan kepada mereka, baik secara kekonsuleran maupun perlindungan hukum.
"Dari angka yang ada sekitar 229 WNI terancam hukuman mati," cetus Dubes RIuntuk Belanda ini di kompleks Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.
Upaya kehadiran negara diwujudkan melalui bantuan pengacara yang disiapkan oleh kedubes (kedutaan besar) atau konsulat jenderal di luar negeri serta kunjungan ke penjara. Selain itu pemerintah juga akan mengupayakan pertemuan dengan keluarga TKI.
Sementara upaya diplomatik juga dilakukan, dengan pendekatan pada tokoh-tokoh di negara tempat para WNIterancam hukuman mati. Antara lain melalui Dewan Pemaafan di Arab Saudi. Menurutnya, WNIterancam hukuman mati, lebih banyak berada di Malaysia dan Saudi Arabia. [rmol]
KOMENTAR ANDA