Komitmen pemerintah dikritik semakin tidak jelas dalam melindungi industri nasional. Padahal, industri minuman beralkohol dan berkarbonasi yang sebagian besar dimiliki asing justru terkesan mendapat keistimewan cukai.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng meminta Menteri Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja untuk campur tangan mencegah rencana kenaikan cukai rokok hingga 27 persen. Daeng menjelaskan, akibat kenaikan target cukai sebesar 27 persen dari realisasi 2014 sebesar Rp 112 triliun, pabrik skala kecil menengah akan menjadi korban pertama.
Untuk memenuhi target itu, kata Daeng, pemerintah akan mencabut fasilitas kredit atau pembayaran tunda. Semua piutang cukai Pemerintah kepada pabrikan akan ditagih pada tahun ini. Dalam Nota Keuangan RAPBN Perubahan 2015 pemerintah telah merencanakan hal itu.
"Meskipun target itu kemungkinan bisa dicapai, tapi ini sangat ambisius. Tidak semua pabrik, terutama menengah-bawah memiliki kemampuan sama menghadapi kebijakan ini. Ini menunjukkan pemerintah tidak perduli dengan nasib industri kretek nasional," kritik Daeng.
Daeng pun mempertanyakan komitmen pemerintah dalam melindungi industri nasional ini. "DPR yang ikut menyetujui angka itu apa menyadari bahwa kebijakan itu akan berdampak PHK puluhan ribu pekerja perempuan?"ujarnya.
Industri kretek, kata Daeng, memilikisocial-economic effect yang sangat besar. Kalau rencana kenaikan itu dipaksakan, ini menegaskan bahwa kebijakan cukai rokok pemerintahan Jokowi-JK penyebab kebangkrutan industri kretek nasional.
Merujuk UU 39/2007 tentang Cukai, papar Daeng, setiap kenaikan cukai harus melakukan konsultasi dengan kalangan industri sebelum diputuskan. Sementara di dalam UU APBN-P, pemerintah memutuskan begitu saja tanpa konsultasi. Padahal dua UU itu punya posisi yang sama dan setara.
"Target penerimaan cukai etil alkohol justru tidak naik karena hanya Rp 165,5 miliar," ujar Salamudin.
Dia menilai kenaikkan cukai rokok sudah hampir 50 persen itu tidak adil. Karena cukai minuman beralkohol dan bersoda yang sebagian besar dimiliki pemodal asing justru tidak dapat kebijakan yang sama. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA