Oleh: Fritz E. Simandjuntak
MBC. SEJAK deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami beberapa perubahan ketatanegaraan dalam sistem politik demokrasi.
Sistem demokrasi parlementer pernah diterapkan hingga tahun 1959. Tapi karena pola ketatanegaraan yang dianggap telah membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Dektrit Presiden 15 Juli 1959 untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Periode tahun 1959-1965, sistem demokrasi di Indonesia dikenal dengan Demokrasi Terpimpin. Dalam pengelolaan ketatanegaraan, kekuasaan Presiden Soekarno sangat mutlak. Sampai bisa meyakinkan MPR untuk mengangkatnya sebagai Presiden seumur hidup.
Periode tahun 1965-1998, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto telah diterapkan sistem Demokrasi Pancasila dengan mengembalikan fungsi lembaga tertinggi negara sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam praktiknya, kekuasaan Soeharto juga sangat dominan dan menjadi Presiden selama 32 tahun.
Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998, Indonesia menganut sistem Demokrasi Reformasi dengan tetap mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Namun ada penyempurnaan pelaksanaannya terutama dalam meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara serta partisipasi penuh dan langsung oleh masyarakat dalam memilih kepala daerah dan kepala negara.
Perubahan yang terjadi pada tahun 1998 tidak lepas dari pesatnya informasi yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi internet, komputer dan telepon seluler telah merubah drastis pola komunikasi, kerja, dan kehidupan manusia. Termasuk juga pengelolaan sektor dunia usaha dan pemerintahan. Teknologi informasi dan komunikasi telah merubah drastis pola komunikasi di masyarakat, pemerintahan, dunia usaha dan partai politik.
Email, Blogging, Twitter, BBM, Whatsapp, Path, Instagram, Portal, Videostreaming, Video dan Teleconference dan banyak lagi teknologi media sosial termasuk Televisi, Radio dan Media Cetak telah digunakan oleh birokrat, politisi dan masyarakat luas. Terutama teknologi media sosial telah merubah dialog politik dan meningkatkan partisipasi berdemokrasi.
Sebenarnya kepala negara yang pertama kali memanfaatkan kekuatan teknologi komunikasi adalah Presiden J.F. Kennedy. Saat berampanye dan cara berkomunikasi Kennedy di televisi telah meningkatkan popularitas dia bahkan ke seluruh dunia. Sementara di tahun 2008 Presiden Barack Obama adalah kepala negara yang pertama kali memanfaatkan teknologi media sosial baik saat melakukan kampanye maupun dalam pengelolaan pemerintahannya hingga kini.
Sosiolog Lazerfeld dan Katz menyatakan bahwa saat ini elite politik dan elite pemerintahan tidak selalu akan menjadi pemimpin opini di masyarakat (opinion leaders) tanpa terhubung dalam jaringan media sosial. Media sosial telah meningkatkan interaksi individu yang memiliki latar belakang usia demografi sama, kepentingan bersama, pendidikan sama, dunia kerja sama. Dan mereka menjadi kelompok yang sangat berpengaruh dalam membangun pendapat publik.
Penggunaan media sosial tidak selalu membuat sesuatu menjadi lebih positif. Karena ada juga beberapa kasus penyebaran informasi di media sosial yang berujung pada pengadilan karena dianggap sebagai pencemaran nama baik. Misalnya kasus Prita Mulyasari, Benny Handoko, Florence Sihombing, Mohammad Arsad dan Trio Macan 2000. Dalam kesempatan lain Panglima TNI Moeldoko sempat emosi karena pemberitaan negatif media asal Singapore tentang mewahnya nilai jam tangan yang dipakainya.
Fenomena Wikileaks menjadi salah satu bentuk meningkatnya partisipasi berdemokrasi. Julian Assange, aktivis internet asal Australia, dikenal sebagai penemu dan kepala redaksi media sosial tersebut yang memuat beberapa informasi rahasia dari beberapa negara. Yang paling mengejutkan dunia adalah bocornya informasi dan analisis antara tahun 1996-2010 dari beberapa pemimpin dunia tentang situasi beberapa negara yang dikenal dengan skandal "Cablegate".
Presiden SBY sendiri sempat marah karena salah satu media di Indonesia mengutip mentah-mentah berita dari Wikileaks yang mengungkapkan keterlibatan Presiden SBY dan mantan Presiden Megawati terlibat pencetakan uang kertas di Australia tahun 1999.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga membuat politisi di beberapa pemerintahan berupaya keras agar tercipta suasana stabil, baik di pemerintahan maupun masyarakat. Pemerintah Tiongkok mengeluarkan lebih dari 60 peraturan pemerintah yang menyangkut sensor di internet. Pemerintah Tiongkok paling ketat di dunia dalam melakukan kontrol terhadap penggunaan internet. Tiongkok juga paling banyak dalam membawa "netizen" ke penjara.
Meskipun Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang paling demokratis di dunia, karena kebebasan berbicara dan ekspresi yang dijamin dalam undang-undangnya. Namun belakangan ini beberapa negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Iran, Pakistan, Rusia dan Arab Saudia malah dikenal sebagai negara-negara "musuhnya internet". Ini disebabkan karena besarnya wewenang pemerintah dalam melakukan sensor informasi di internet.
Hubungan pemerintah dengan dunia usaha di bidang internet juga akan semakin meningkat keterkaitannya. Google bisa saja menciptakan "Self Driving Car" Tapi hanya pemerintahlah yang akan mengijinkan dan membangun infrastruktur agar tipe mobil tersebut dapat digunakan masyarakat. Masyarakat juga harus diberi perlindungan secara hukum agar transaksi jual beli atu transfer lewat internet dan telepon seluler dapat dijamin aman.
Sebenarnya meningkatnya penggunaan telepon genggam dan internet akan sangat memudahkan pemerintah bukan saja untuk berkomunikasi dengan masyarakat, namun juga untuk mengawasi isi komunikasi di masyarakat, mengawasi alur keuangan yang berpotensi melanggar hukum tanpa harus membuat masyarakat takut diawasi.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan media sosial di masyarakat telah menjadikan setiap individu bisa menjadi jurnalis dan sekaligus sumber utama opini di masyarakat. Sehingga partisipasi publik dalam berdemokrasi semakin meningkat.
Namun harus tetap disadari bahwa betapapun tingginya teknologi informasi dan komunikasi, faktor manusia sebagai pengguna utama teknologi tersebut yang benar-benar akan menjadi sumber perubahan besar di masyarakat. Ilmuwan di Amerika Serikat berhasil membangun teknologi ruang angkasa Apollo. Tetapi pemerintahan Amerika Serikat era Presiden Kennedy lah yang memiliki komitmen dan berhasil mendaratkan manusia di bulan.
Artinya politisi dalam pemerintahan akan berpengaruh banyak dalam memanfaatkan hasil positif dari kemajuan teknologi. Google, Alibaba, Yahoo, tidak akan bisa memutuskan terjadinya perang antar negara. Politisilah yang bisa menimbulkan perang dan pembunuhan di sebuah negara. Seperti tragedi 11 September 2001, pembunuhan atas lebih 100 orang pelajar di Pakistan, penembakan pesawat MH 17 Malaysian Airlines, dan beberapa pelanggaran HAM lainnya. Kesemua tragedi tersebut karena manusianya, bukan salah teknologinya.
Dalam kaitan tersebut, maka di era yang serba terbuka ini sungguh prihatin kita apabila ada sebagian politisi dan partai politik di Indonesia yang ingin merubah meningkatnya demokrasi partisipatif di masyarakat dalam memilih pemimpinnya secara langsung dan dikembalikan melalui perwakilannya di DPR dan DPRD. Padahal pemilihan langsung Presiden/Wakil Presiden oleh rakyat baru-baru ini, meskipun dengan hiruk pikuk suasana kampanye yang sangat riuh, tetapi Indonesia berhasil melalui proses berdemokrasi tanpa konflik dan kehilangan nyawa dari masing-masing pendukung. Dalam situasi demokrasi partisipasi penuh di masyarakat yang semakin dewasa ini, sungguh tidak masuk akal apabila Koalisi Merah Putih dan Partai Golkar versi Munas di Bali memilih untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada wakil-wakil takyat di DPRD.
Beruntung aspirasi masyarakat yang disalurkan lewat media sosial, media cetak, radio dan televisi yang menentang ide tersebut telah membuat KMP dan Partai Golkar Munas Bali cepat menyadari bahwa upaya tersebut akan berakibat buruk pada suasana demokrasi partisipatif yang telah dibangun di era reformasi. Bahkan ke depannya akan menimbulkan dampak negatif pada politisi-politisi yang bernaung dalam KMP.
Menurut data terakhir yang dilansir e-Marketer, pengguna internet di Indonesia yang tiap bulannya aktif minimal satu kali mengakses internet berjumlah 83,7 pengguna. Ini menjadikan Indonesia berada pada peringkat 6 dunia. Lebih dramatis lagi adalah pengguna telepon seluler. Angka terakhir yang berhasil di data, jumlah pengguna telepon seluler di Indonesia sekitar 270 juta. Angka ini bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia yang berada di sekitar 250 juta orang. Bayangkan potensi mereka dalam membangun citra positif dan negatif terhadap politisi, partai politik dan pemerintahan.
Harus diakui bahwa model demokrasi partisipatif masyarakat memang masih banyak kelemahan. Tapi yang lebih kita perlukan adalah beberapa perbaikan, bukan kembali ke demokrasi perwakilan. Dalam kaitan itu pemanfaatan teknologi imformasi dan komunikasi serta media dapat lebih dimanfaatkan. Misalnya dengan melaksanakan pemilihan langsung melalui internet yang dikenal dengan "e-voting". Bukankah pengguna jumlah internet dan telepon seluler di Indonesia sudah sedemikian tingginya?
Sudah menjadi kenyataan bahwa penggunaan media sosial telah meredinisikan partisipasi masyarakat dalam politik. Karena itu kedepannya kita berharap agar meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi serta media sosial di masyarakat Indonesia bukan saja akan memperbaiki demokrasi partisipatif saat ini, tetapi juga peningkatan kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan kreativitas masyarakat Indonesia. Mari kita arahkan Republik Indonesia menuju ke arah sana. [***]
*Penulis adalah Sosiolog, tinggal di Jakarta
KOMENTAR ANDA