post image
KOMENTAR
Tidak salah menilai Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Selain mampu mengelola keberagaman suku bangsa dan budaya masyarakatnya, Indonesia juga menjadi contoh dari pertemuan harmonis Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk dengan gagasan demokrasi yang kerap dianggap lahir dari peradaban Barat yang sekuler.

Keberhasilan itu berdiri di atas pondasi pengakuan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM universal. Pemerintah dan masyarakat sipil bekerja keras untuk memastikan bahwa tidak ada anggota kelompok masyarkat yang tidak mendapatkan haknya.

Demikian disampaikan Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa, yang menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi mengenai universalisme dan spesifitas HAM di Forum HAM Dunia ke-2 yang diselenggarakan di Marrakesh, Maroko (Sabtu, 29/11).

Selain Teguh, pembicara lain dalam diskusi yang dipandu Ketua Forum Digniti HAM Maroko, Abdelali Hamieddine, ini adalah pengamat HAM dari Universitas Hogoromo Jepang, DR. Kei Nakagawa dan peneliti HAM dari Spanyol, Santana Moises.

"Namun begitu bukan berarti tidak ada masalah di lapangan dalam pelaksanaan HAM itu walapun sejauh ini semua pihak memperlihatkan komitmen kuat dalam mengakomidasi dan mengadvokasi HAM di Indonesia," kata Teguh yang juga dosen hubungan internasional FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini dalam keterangan yang diterima redaksi.

Pada bagian lain Teguh mengatakan, dirinya prihatin karena akhir-akhir ini ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan mengenai pelaksanaana HAM di Indonesia.

Belakangan kerap terjadi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap kelompok masyarakat yang memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat, seperti kebijakan menaikkan harga BBM.

"Ironis, karena dalam sejumlah kasus, kekerasan oleh aparat itu mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat lain yang mengganggap bahwa protes tersebut membahayakan pemerintahan yang baru mulai berkuasa," ujar Teguh.

Dia berharap pemerintah bisa mengubah pendekatan dalam menangani protes yang telah menewaskan seorang pemuda di Makassar itu.

Hal lain yang disampaikan Teguh berkaitan dengan pembebasan bersyarat Pollycarpus yang terbukti membunuh aktivis HAM Munir pada tahun 2004 lalu. Pollycarpus seharusnya menjalani hukuman 14 tahun.

"Pembebasan Pollycarpus ini menyakiti rasa keadilan masyarakat, dan memunculkan kekhawatiran baru," demikian Teguh. [hta/rmol]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas