Pasca kekalahan Timnas Indonesia atas Filipina 4-0, bisa dibilang sudah tidak ada lagi harapan "Indonesia Juara AFF 2014" yang muncul di kepala masyarakat Indonesia. Ucapan penuh harap tersebut berganti menjadi kritik tajam. Mulai kritik kepada Pemain Timnas, Alfred Riedl, sampai kritikan kepada PSSI sebagai induk sepakbola tanah air.
Berlebihankah respon masyarakat itu? Saya kira tidak juga. Banyak hal yang menjadikan kritik-kritik tersebut dikatakan wajar dan pantas.
Mulai dari lawan yang menghancurkan Indonesia kemaren, Filipina. Negara yang lebih terkenal dengan olahraga Basket-nya tersebut faktanya tidak pernah menang dari Indonesia sejak tahun 1958. Bahkan bisa dibilang Filipina merupakan "makanan empuk" untuk Indonesia di berbagai ajang. Kemenangan 5-1 sampai 13-1 pun menjadi hal yang pernah dan biasa didapatkan Indonesia dari negara asal petinju Manny Pacquiao tersebut. Tapi yang terjadi kemaren, Indonesia dipermalukan secara permainan dan hasil, telak 4-0 kita dibantai.
Selain itu, mulai terdengar kembali kritik kepada Pelatih Alfred Riedl. Ada dua hal disini yang menjadi sorotan. Pertama Riedl dinilai gagal menampilkan Permainan atraktif timnas seperti 2010 dulu dan bisa dipastikan gagal memenuhi target juara AFF. Kedua, komposisi pemain pilihan Riedl menjadi sorotan tajam. Mulai dari usia skuad timnas yang dinilai terlalu tua dan tidak dimainkannya Evan Dimas di dua pertandingan yang sudah dijalani Timnas. Selanjutnya, tidak dicantumkannya pemain-pemain yang dinilai layak menghuni skuad timnas seperti Bustomi, Bayu Gatra, hingga Ferdinand Sinaga sang pemain terbaik ISL.
Sedangkan untuk PSSI, banyak pihak yang langsung bersuara tentang "mafia bola" di dalam tubuh PSSI. Merekalah yang dinilai banyak masyarakat sebagai penyebab hancur dan berantakannya Timnas Indonesia di AFF 2014 ini. Selain itu, penyelenggaraan ISL yang dinilai sangat buruk musim ini, berdampak kepada penampilan Timnas. Kritik tentang Liga ini selain disampaikan oleh masyarakat, juga dilontarkan oleh Alfred Riedl. Tentunya Pembinaan pemain juga menjadi titik fokus kritik kepada PSSI yang dinilai tidak punya masterplan yang jelas.
Khusus untuk pembinaan pemain, saya rasa PSSI harus benar-benar serius menanggapi kritik ini. Karena memang kenyataannya PSSI tidak punya program yang benar-benar jelas. Kenapa PSSI tidak mencoba membuat blueprint pembinaan pemain yang jelas guna membentuk Timnas yang kuat. Kita bisa ambil contoh Belgia, setelah gagal total di piala Eropa 2000, Belgia langsung membuat terobosan dalam hal pembentukan Timnas. Mulai dari membuat regulasi untuk akademi klub sepakbola di Belgia yang harus banyak mencetak pemain-pemain muda, Memaksa semua Klub untuk memakai formasi yang sama dengan Timnasnya, sampai mencetak Pemain yang bisa menjadi key player di klub-klub top Eropa. Hasilnya, bisa kita lihat sendiri sekarang.
Memang masih ada pertandingan melawan Laos nanti Malam, tapi masyarakat sudah tidak lagi menganggap penting lolos dari penyisihan grup dan bisa dibilang telah lupa harapan juara AFF 2014. Masyarakat hanya mau Timnas bermain lebih baik, atraktif, dan hasilnya menang! Anggaplah permainan dan hasil nanti malam melawan Laos sebagai persembahan terakir Alfred Riedl untuk Indonesia.
Yang jelas, pasca AFF 2014 ini, Alfred Riedl dipecat atau tidak diperpanjang kontraknya oleh PSSI. Tapi bukan berarti ini semua kesalahan Riedl 100 persen. Riedl memang bertanggung jawab karena dia adalah pelatih, tapi PSSI lebih bertanggung jawab kepada seluruh masyarakat Indonesia.
PSSI harus segera berbenah ( sebenarnya perlu revolusi) secepat mungkin. Mulai dari pembinaan pemain sampai penyelenggaraan Liga yang jauh lebih baik lagi. Yang jelas itu semua haruslah bertujuan untuk membentuk Timnas Indonesia kedepan yang jau lebih baik dan bisa mewujudkan harapan masyarakat bangsa ini, menjadi juara. Karena meski bagaimanapun, seluruh masyarakat negeri ini tidak pernah surut untuk selalu berharap Timnas Sepakbolanya berprestasi di berbagai ajang. Salam Satu Jiwa Indonesia!
M Baihaqi Nabilunnuha
Jalan Semanggi, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
KOMENTAR ANDA