Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen menilai, sistem pembayaran PDAM Titranadi melalui melalui dan jasa pos atau PPOB dinilai ilegal atau cacat hukum.
Pasalnya, pembayaran itu telah melanggar ketentuan Perda Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 16 huruf yang berbunyi "melakukan pinjaman, mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan gubernur atas pertimbangan Dewan Pengawas".
Selain itu, berkaitan dengan kewenangan melakukan perjanjian sesuai SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 539/060/K/Tahun 2009 Tentang Struktur Organisasi dan tata Kerja PDAM Tirtanadi jo Nomor 148/Kpts/2008 tentang Pengesahan SK Direksi, Pasal 6 Wewenang Direktur Utama (ayat 3 dan 4) dinyatakan “menandatangani perjanjian kerjasama, neraca dan rincian laba rugi perusahaan, dan menandatangani ikatan hukum dengan pihak lain”
"Secara hukum dapat dimaknai bahwa proses perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga (PDAM Tirtanadi dengan pihak perbankan/pos) dan penerapan pembayaran via bank atau jasa pos (transaksi online) mesti mendapat persetujuan gubernur sebagai pemegang saham/pemilik. Sekaligus mendapat pertimbangan dari Dewan Pengawas," ungkap Direktur LAPK, Farid Wajdi, Rabu (26/11/2014).
Menurutnya, proses yang ada mulai perjanjian kerjasama dan proses pembayaran dilaksanakan gubernur pernah mengeluarkan persetujuan dan dewan pengawas PDAM Tirtanadi pada saat perjanjian kerjasama ditandatangani, sedang dalam keadaan kosong.
Selain itu, yang dikesampingkan adalah yang memiliki kewenangan menandatangani perjanjian kerjasama dan ikatan hukum dengan pihak lain adalah Direktur Utama.
"Fakta menunjukkan perjanjian kerjasama dan ikatan hukum itu tidak diwakili Direktur Utama, melainkan pihak lain di luar Direktur Utama. Sebab itu, baik segi prosedur maupun substansi perjanjian system pembayaran itu bertentangan dengan dengan hukum sehingga masuk dalam kualifikasi illegal/cacat hukum. Jadi, perjanjian kerjasama dan segala turunannya dinyatakan tidak sah," ungkapnya.
Untuk itu, ia memintaa pihak terkait seperti lembaga perbankan perlu meninjau ulang soal perjanjian itu, karena prosedur formal tidak ada persetujuan gubernur dan pihak yang menandatangani (subjek hukum) tidak memiliki kompetensi hukum.
"Gubernur dan Dewan Pengawas sebaiknya mengambil alih masalah ini. Jadi, segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen PDAM Tirtanadi dapat dihentikan, karena merugikan semua pihak. Bagaimanapun, terlalu banyak blunder yang telah dilakukan manajemen perusahaan plat merah itu," katanya.
Diakuinya, ketika penagihan rekening air secara door to door dihentikan, dan pelanggan diminta membayar rekening air di loket–loket Cabang PDAM Tirtanadi dan di Bank sebenarnya ada beberapa pelanggaran yang dilakukan.
Biaya penagihan rekening air secara manual (door to door), katanya, telah masuk dalam struktur kenaikan tarif pada tahun 2013 lalu.
"Secara nominal ada biaya hubungan langganan sebesar Rp18 miliar yang diperuntukkan guna menagih rekening itu. Pertanyaannya, ke mana dan untuk apa uang sebesar Rp18 miliar itu dipergunakan, pasca-sistem pembayaran online? BPK atau BPKP perlu turun tangan untuk mengaudit keberadaan uang sebesar Rp18 miliar dimaksud dikaitkan dengan kedudukannya sebagai biaya hubungan langganan. Apakah ada potensi disalahgunakan," ungkapnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA