Alasan kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan Presiden Joko Widodo sangat mengada-ada. Harga BBM dinaikkan saat harga minyak dunia turun ke level terendahnya dalam empat tahun terakhir.
Demikian disampaikan Ketua Presidium Nasional Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Herdi Jayakusuma, dalam keterangannya sesaat lalu (Senin, 17/11). Beberapa jam sebelum berita ini diturunkan, Jokowi menumumkan harga premiun naik menjadi Rp 8.500 per liter dari harga sebelumnya, Rp 6.500.
Sedangkan untuk BBM jenis solar, Jokowi menetapkan harganya naik dari Rp 5.500 menjadi Rp 7500.
Menurut Herdi, alasan mencabut subsidi BBM karena membebani APBN sehingga terjadi defisit APBN juga tak bisa diterima. Pemerintah tidak layak menyalahkan defisit APBN karena beban dari subsidi BBM semata. Penurunan target pendapatan negara yang tidak sebanding dengan kenaikan beban belanja negara juga menjadi penyebab munculnya masalah tersebut.
"Pemerintah menuding bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Justru, dampak kenaikan harga BBM akan menimpa pada semua kalangan, terutama menengah ke bawah. Bahkan saat harga BBM belum resmi dinaikkan hampir semua bahan pokok sudah merangkak naik," papar dia.
Mestinya, pemerintah menempuh jalan alternatif untuk mengatasi defisit APBN selain dengan menaikkan harga BBM sebagaimana disarankan antara lain oleh ekonom senior DR.Rizal Ramli dan Ichsanuddin Noorsy. Bukan malah mengakali kenaikkan harga BBM dengan argumentasi mengalihkan sunsidi ke sektor produktif.
"Sikap pemerintah ini menunjukkan bukan hanya pemerintah tak bekerja dengan baik, tapi juga membawa kebutuhan rakyat akan BBM pada persaingan bebas. Jelaslah bahwa Kabinet Kerja tengah dinaungi oleh neolib.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA