KETIKA ada peringatan dini tsunami, namun tsunami besar tidak datang, sebagian dari kita sering menyalahkan sistem yang ada.
Mengapa harus ada peringatan dini, hanya bikin panik saja? Bahkan tak jarang banyak yang menyalahkan BMKG, BNPB dan BPBD. Tidak mengapa, itu artinya masih mereka selamat dari tsunami.
Kita masih ingat tsunami di Flores pada 12 Desember 1992 silam yang menyebabkan 2.150 orang tewas dan hilang. Begitu juga tsunami di Banyuwangi tahun 1994 ada 238 orang tewas.
Di Biak tahun 1996 menyebabkan 60 orang tewas dan 134 orang hilang. Mega tsunami di Aceh tahun 2004 menyebabkan 283 ribu orang tewas dan hilang, dan di Pangandaran tahun 2006 ada 600 orang tewas. Memang Indonesia rawan tsunami.
Ada sekitar 5 juta jiwa penduduk tinggal di daerah rawan sedang-tinggi dari tsunami. Antara tahun 1629-2014 ada 174 tsunami di Indonesia. Waktu yang tersedia (golden time) untuk evakuasi hanya rata-rata 30 menit setelah gempabumi. Ini jika sumber gempanya lokal berada di sekitar Indonesia. Tapi jika gempanya jauh, seperti saat tsunami di Sendai Jepang tahun 2011, waktunya bisa sekitar 5 jam. Dengan waktu 30 menit itu, pasti terjadi kepanikan. Itu berlaku universal. Di Jepang pun masyarakat juga panik.
Berdasarkan survai saat gempa 8,5 SR dan tsunami di Aceh pada 11 April 2012, rata-rata 79 persen masyarakat keluar rumah saat gempa dan 21 persen tetap berada di rumah. 63 persen tidak mendengar sirine tsunami. 75 persen masyarakat evakuasi dengan membawa kendaraan sehingga macet, dan 71 persen masyarakat belum pernah ikut latihan.
Selain itu infrastruktur peringatan dini tsunami masih terbatas. Dari 4.500 km panjang pantai yang rawan tsunami hanya ada 38 sirine tsunami dari kebutuhan 1.000 sirine. Shelter evakuasi hanya ada sekitar 50 unit dari kebutuhan 2.500 unit. Ini adalah fakta. Tsunami harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pemda guna melindungi masyarakat dari ancaman tsunami.
Sutopo Purwo Nugroho
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana
KOMENTAR ANDA