AWAN semakin bergulung. Semakin pekat menggumpal. Menjuntai rendah di langit kota Selena. Angin bertiup dari segala arah, menerbangkan apa saja yang ada di depannya, debu, daun kering, sampah plastik.
Ibu-ibu pun ikut berlari panik ke arah jemuran pakaiannya. Menyambar dengan tangkas dan memasukkannya ke keranjang. Beberapa pedagang yang masih menggelar dagangannya segera menutup. Termasuk Panawa, lelaki setengah baya itu dengan cekatan menutup warung kopinya yang terletak di pinggir jalan besar, di kota yang berada di kaki bukit Selena.
Semakin kencang angin bertiup, semakin pekat awan bergumul singgah di atas kota itu. Meski hari belum senja, namun sudah terlihat seperti malam lengang. Sepi. Dengan cepat kota kecil itu merayap senyap. Tak lagi seorang pun berani berada di luar. Semua orang yang tinggal di sisi ruas jalan itu sudah menutup pintu rumah rapat-rapat.
Ini akan menjadi hujan pertama, setelah lebih dari delapanbelas bulan kerontang melanda kota itu. Sebagian warga yang tinggal di sana sadar, sepatutnya mereka merayakan hujan pertama ini dengan bersuka cita. Sebab hujan akan membasahi tanah mereka. Aspal jalanan, kerikil di kali kering akan basah oleh lumatan hujan. Betul, awan hitam ini menjanjikan itu semua. Sebab awan kali ini berbeda dengan awan-awan hitam yang beberapa kali sempat singgah di sana.
Tentulah selama delapanbelas bulan ini awan hitam pernah singgah di kota itu. Dan sama seperti senja ini, mereka semua panik berhamburan masuk ke rumah. Mengunci pintu rapat-rapat, menutupi tirai jendela. Dan memilih meringkuk bersama keluarga mereka di kamar, di suatu tempat yang mereka anggap teraman di dalam rumah. Begitulah, setiap awan yang singgah selalu disambut dengan perilaku seperti itu. Mungkin itulah sebabnya mengapa lebih dari delapanbelas bulan, daerah itu kering oleh kemarau.
Tapi agaknya tidak untuk kali ini. Meski orang-orang seperti tidak mengharapkan kedatangan hujan, namun hujan tetap datang. Sekarang satu per satu bulirnya meretas dari atas langit Selena. Membasahi pucuk pohon, daun-daun kering. Nyangsang di atas bubungan, dan atap rumah. Membasahi aspal dan jalanan dan mengaliri kali kering. Dengan segera kota kecil itu dikurung jala air.
***
Panawa masih meringkuk di pojok rumahnya. Matanya mengedar sambil mengawasi kilatan petir yang saling menyambar di luar jendela. Dengan erat dipeluknya istri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Berlima, anak-beranak itu menahan takut. Apalagi bila suara geledek yang membelah langit terdengar keras dan menggetarkan dinding rumah mereka. Semakin menjadi-jadi ketakutan itu
Panawa semakin erat memeluk anak-istrinya. Ketika lamat-lamat terdengar suara lain di balik rintihan senja yang dibilas hujan. Itu bukan suara hujan. Panawa memasang telinganya lebih tajam, memastikan. Matanya membelalak. Anak-istri semakin kuat dirangkul. Matanya sedang menerawang. Pada suatu peristiwa. Ketika hujan angin membawa petaka. Hingga menjadikan hujan sebagai kenangan kelam dari sejarah kota Selena...
"... kami adalah pemburu hujan. Kami habiskan waktu hanya untuk mengejar hujan. Tak ada saat yang membahagikan selain ketika menari di bawah hujan. Tak ada yang lebih sedih selain gagal memenggal hujan... Kami adalah pemburuh hujan. Kami..."
Panawa bergidik. Sekarang dia dapat mendengar dengan jelas suara itu. Itu sebuah nyanyian. Seperti sebuah himne puji-pujian atau juga lebih mirip terdengar sebagai dendang kematian.
Anak-beranak itu semakin panik, menggeram dalam gigil kedinginan. Terpojok di sebuah sudut di dalam rumah yang juga dijadikan sebagai tempat usaha Panawa berjualan kopi.
Suara nyanyian itu kian jelas. Semakin jelas pula mengingatkan Panawa pada kisah Wak Leman, lebih dari delapanbelas bulan silam.
Kala itu, air hujan turun berwarna merah menggenangi aspal jalan sampai semata kaki. Di persimpangan jalan, Panawa melihat kejadian itu. Segerombolan orang asing dan berjas hujan mengamuk. Suara dentuman senjata api menggantikan sangar gelegar petir. Membuncah keheningan malam kota itu.
Persis di depan warung kopi Panawa parkir sebuah truk. Dijaga oleh beberapa orang berjas hujan. Seluruh penduduk kota Selena tak ada yang berani keluar rumah untuk sekadar mencari tahu. Bagi mereka keluar rumah di saat hari hujan adalah hal terbodoh yang orang lakukan.
Maka Panawa hanya berani mengintip dari kisi jendela rumahnya. Memandang ke arah tubuh kaku Wak Leman dan santrinya diangkut dan dilempar begitu saja seperti sepotong jagung ke atas truk.
***
Derap lars semakin kencang terdengar. Lantai rumah Panawa bergetar ketika gerombolan itu datang dan mengetuk pintunya.
***
"Halo... Bung, buka pintu..." teriak seseorang dari pintu. Pintu digedor dengan kencang. Di dalam si empunya menggigil ketakutan. Tak mampu bergerak sejengkal pun.
"Hei, ada orang tidak! Buka!" teriak seseorang lagi dengan nada memaksa. Sementara itu nyanyian semakin kencang terdengar.
"... kami adalah pemburu hujan. Kami habiskan waktu hanya untuk mengejar hujan. Tak ada saat yang membahagikan selain ketika menari di bawah hujan. Tak ada yang lebih sedih selain gagal memenggal hujan... Kami adalah pemburu hujan. Kami..."
Panawa menahan takutnya. Semakin erat dipeluknya anak dan sang istri. Sementara di luar rumah gerombolan itu masih terus mengetuk-ketuk pintu dan bernyanyi.
Dia memberanikan diri mengintip ke luar. Disibaknya tirai, diintipnya gerombolan itu.
Benar saja! Batin Panawa. Dengan bantuan bohlam 15 watt di teras rumahnya, dia mampu melihat dengan jelas gerombolan yang berdiri di depan pintu rumahnya.
"Berjas hujan," Panawa menarik nafas. Lelaki yang tak lagi muda itu pasrah. Pasrah pada kenyataan. Pasrah dibawah todongan bedil sang hujan.
"... kami adalah pemburu hujan. Kami habiskan waku hanya untuk mengejar hujan. Tak ada saat yang membahagikan selain ketika menari di bawah hujan. Tak ada yang lebih sedih selain gagal memenggal hujan... Kami adalah..." tiba-tiba nyanyi itu putus di jalan.
Panawa semakin yakin, bahwa hujan kali ini akan membawa dirinya pada sang guru :Wak Leman!
"Ini orang bengak kali ya, nggak mau uang apa?" tanya seseorang dari di luar rumah kepada temannya. Panawa bingung. Sementara dari luar masih terdengar suara nyanyian tentang hujan.
"Berisik! Diam bodoh! Aku butuh kopi! Simpan dulu semangatmu itu!" perintah salah seorang dari mereka. Panawa mengintip dari balik jendela. Gerombolan itu terdiri dari empat orang. Mengigil kedinginan. Meski wajahnya terlihat lebih muda, namun semuanya terlihat pucat dan kuyu.
Antara kecemasan dan ketakutan, Panawa merasa iba. Dia sedang berpikir tentang gerombolan itu. Dia berpikir, mungkin saja mereka memang orang asing yang singgah untuk segelas kopi. Tapi dengan cepat pula dia berubah pikiran. Dengan segera matanya bergerilya menembus hujan. Mengitari jalan-jalan yang gelap dan dipenuhi genangan air. Mencari-cari sesuatu. Mungkin gerombolan itu memarkir truknya di suatu tempat. Tempat yang tak terlihat. Demikian dia berpikir. Tapi kemudian pikiran itu dikalahkan. Wajah-wajah muda gerombolan itu tak seperti wajah-wajah gerombolan yang membantai Wak Leman, lebih dari delapanbelas bulan silam.
Dengan kepasrahan dan menyerahkan nasibnya pada Tuhan, akhirnya dia berniat untuk membuka pintu. Dia berbisik kepada istrinya untuk membawa anak-anak pergi ke kamar.
"Halo, Bung. Bukalah pintunya sebentar," pinta orang yang lain lagi.
Dengan berani dan siap dengan apa yang terjadi, Panawa membuka pintu. Handle berputar, pintu berderit. Dari dalam Panawa muncul.
Gerombolan itu, berempat berdiri menghadap Panawa yang berdiri gamang.
Dengan sigap, Reif si pemimpin kelompok menghampiri Panawa. "Kami mau kopi." katanya singkat.
Panawa mengangguk. Dibimbingnya keempat pemuda itu masuk ke warung kopinya. Bak kerbau dicucuk hidung, empat orang itu mengikuti langkah Panawa.
***
Keempat orang itu berwajah dingin. Bukan gigil hujan yang membuat tirus wajah mereka menjadi pucat. Panawa risih dengan tatapan mata mereka yang tajam. Tatapan yang dingin. Sama persis dengan wajah mereka yang dingin.
"Jadi bagaimana? Kau puas dengan perburuan kita kali ini?" tanya Reif kepada orang di sampingnya.
"Wah, lumayan juga. Untuk sebuah tempat asing dan aneh seperti ini," jawab orang itu sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari peti kecil yang terbuat dari alumunium. Sementara dua orang yang lainnya tengah sibuk membaca kompas dan membentangkan peta di atas meja.
Hening sesaat. Dari jas hujan yang mereka kenakan menetes bulir air. Menggenang di atas lantai warung kopi Panawa. Sementara di luar sana hujan masih terus mengucur dengan deras. Seperti air terjun dalam lukisan yang menempel di dinding warung kopi Panawa.
Si empunya tempat mengaduk gula yang diseduh air panas. Tangannya bergetar, meski hari dingin terlintas pula titik air keluar dari pori-pori kulitnya. Panawa sedang berdoa dalam hati.
"Aneh, ke mana semua orang?" tanya Gobun sambil menggoyang-goyang kompas yang ada di tangannya. Panawa diam, pucat wajahnya semakin kelihatan.
"Mungkin semuanya lebih memilih untuk naik ke atas ranjang. Bergumul di balik selimut. Dan menciptakan sebuah kehidupan lagi," sambung Opung sekenanya sambil terus mencermati peta kecil di atas meja.
Reif tertawa. Sebarisan gigi kuning menyembul dari tabir bibirnya.
Tapa, lelaki termuda dalam rombongan itu menyalakan rokoknya. Kres! Memancar pijar api ke udara.
"Lumayan untuk hari ini, kita berhasil mengejar dan hampir saja memenggalnya," kata lelaki itu sambil mengepulkan asap ke ruangan. Panawa kecut hatinya. Pikirannya galau dan teringat pada kejadian delapanbelas bulan silam.
"Hei, Pak," panggil Reif kepada Panawa. "Apa nama tempat ini? Kok sepi betul? Seperti kota mati saja." tanya Reif.
Panawa sedikit lega. Sekarang dia berpikir kalau sekelompok anak muda itu hanyalah orang asing yang tersesat dan kedinginan.
"Mau menjawabnya tidak?" sambung Gobun sambil mengeluarkan sesuatu dari balik jas hujannya.
"Iya, iya, iya." Jawab Panawa terbata-bata. Dia menyodorkan gelas-gelas kopi yang baru diaduknya kepada anak-anak muda itu.
"Ah... aneh. Tempat ini lebih aneh dari tempat yang pernah kita singgahi. Kau merasakannya?" timpal Opung kepada Rief.
"Biasa aja, kau ingat kita bahkan pernah mengalami yang lebih aneh dari ini." Jawab Rief.
"Betul, aku masih ingat ketika jutaan peluru begitu saja meluncur dari langit yang hitam." jawab Opung.
Sampai di situ, Panawa hilang di dalam cerita keempat pemuda asing.
"Bah betul-betul aku suka! Aku suka hujan peluru. Aku bahkan kebagian sebutir di keningku." Tapa mulai ingat pada salah satu hujan yang pernah mereka temukan.
"Sttt...berisik. Habiskan saja kopimu," perintah Reif pada Tapa. Anak muda itu patuh dan langsung menelan kopi sodoran Panawa panas-panas.
"Auw, panas," gerutunya. Opung dan Gobun tertawa.
***
"Masih sore, ke mana semua orang Pak?" Reif melempar tanya kepada Panawa. Panawa tersentak. Dia sudah kembali kembali di antara keempat pemuda itu.
"Iya, gimana?" ulangnya kepada Reif
"Saya tanya ke mana semua orang? Hujan begini kok memilih ngumpet di rumah?" timpal Reif lagi. Panawa cuma cengengesan.
"Eh, Pak," Gobun angkat suara. Panawa melempar pandang ke arah Gobun. "ada kisah menarik apa di kota ini?"
"Hm, ah, apa ya?" Panawa mencoba ramah pada gerombolan asing itu. Matanya mengedar ke seluruh ruangan.
"Sejujurnya, masyarakat di sini takut dengan kedatangan… kedatangan hujan..."
Tawa membuncah. Diselingi gemuruh dan rinai hujan. "Eh Pak, kenapa takut sama hujan? takutlah hanya pada Tuhan," kelakar Opung. Panawa terhenyak. Matanya berubah merah.
"Ceritakan Pak, lanjutkan," pinta Reif.
"Suatu senja, hujan turun," sampai di situ Panawa berhenti. Diam-diam istrinya mengintip dari jendela rumah, cemas pada nasib suaminya.
"Tapi kami tidak tahu, tiba-tiba saja mereka mengamuk, menerabas masuk ke rumah-rumah warga," Panawa lemas. Tidak sanggup meneruskan kisahnya. Titik air menetes dari sepasang matanya yang berubah saga.
"Siapa?" tannya Gobun
"Mereka, gerombolan berjas hujan itu," jawab Panawa.
Keempat pemuda itu bingung dengan kisah Panawa. Mereka baru sadar bahwa ternyata si penjual kopi ini takut pada kehadiran mereka
"Terus?" Reif memaksa Panawa berbicara. Tiga temannya mendengar dengan serius. Panawa agak ragu. Dia diam sejenak, meyakinkan dirinya sendiri, bahwa gerombolan yang sekarang di hadapannya ini bukanlah gerombolan yang datang delapanbelas bulan lalu atau bagian dari mereka.
"Mereka membawanya, semua, bahkan santri yang masih bocah juga." Suara Panawa tercekat ketakutan. Dadanya naik turun, tak kuasa mengisahkan peristiwa delapanbelas bulan silam.
"Kenapa?"
"Entahlah, saya tak ingat, sungguh saya tak ingat lagi,"
"Lanjutkan Pak," giliran Opung memaksa Panawa.
"Tolong jangan desak saya untuk mengingatnya. Semuanya sudah berlalu. Kami tak mau mengingat lagi," lanjut Panawa.
"Bagaimana bisa. Buktinya senja ini semua orang menutup pintu rumah. Kau pun begitu. Seolah kami ini tamu yang tak diinginkan, seolah hujan ini akan terus mengingatkan kalian," potong Tapa ketus. Reif berdehem. Tapa bungkam.
"Ampun Pak, sungguh, saya tak ingat apa-apa, kecuali hujan. Hujan berwarna merah," Panawa tak bisa lagi membendung ketakutannya. Dengan suara bergetar dia meneruskan kisahnya..
"Hujan, dan air yang menggenang di jalanan. Semata kaki. Merah, merah, marah,"
"Ngomong apa sih? Yang jelas dong!" Gobun mulai tak sabar.
"Dari langit hujan turun. Airnya menggenang berwarna merah. Merah di mana-mana. Merah di atap rumah, merah di lampu jalan, merah di jas hujan..."
"Ah, stop!" Gobun emosi. "Bullshit!" makinya
"Bun, tenang!" bentak Reif.
"Merah? Maksudmu apa Pak? Kau mau bilang kalau hujan kala itu adalah hujan darah?" potong Tapa.
Panawa tertunduk.
"Great! Ini baru betul." kata Opung. "bayangkan, hujan darah! Hujan darah kawan-kawan!"
Panawa mengangkat kepalanya. Matanya terbelalak. Bibirnya mengatup rapat. Dia menggigil.
"Kita sudah lalui berbagai perburuan. Mulai dari hujan salju, hujan debu, hujan batu sampai hujan peluru. Kita lalui itu. Tapi ini..." sambung Opung.
"Ah, kita sudah merasakannya," potong Gobun.
"Tidak, kita melewatkannya. Apa yang kita dapatkan di Santa Cruze kala itu adalah jejaknya! Bukan peristiwanya!"
"Ah, omong kosong! Kau tak ingat, bahkan sirop yang kau minum ketika itu adalah darah peziarah*!"
"Ah, salah sendiri, aku lihat aspal itu merah seperti darah, tapi kata Bapa itu sirop , jadi kupikir sirop yang ada di gelasku lah yang tumpah membasahi aspal."
"Betul, aku ingat. Ketika itu darah setinggi mata kaki menggenang di antara nisan-nisan" sambung Tapa bersemangat. "Tapi kita melewatinya! Kita tak berada di sana ketika hujan itu singgah! Dan sekarang?"
"Cukup!" bentak Reif. Panawa menggigil ketakutan, dia tak mengerti perbincangan mereka. Baginya sekarang semua jadi tak berarti lagi.
"Kemana mereka berlalu?" tanya Reif pada Panawa.
Panawa diam. Lantas dengan lesu mengangkat jari telunjuknya. Menunjuk ke arah bukit.
"Oke, baik kawan-kawan. Siapkan perlengkapan kalian. Senja ini akan menjadi perburuan kita yang paling agung," tegas Reif kepada tiga temannya.
Dengan segera, gerombolan itu bersiap siaga. Reif membayar empat gelas kopi yang dipesannya.
"Tapi kalian mau apa?" tanya Panawa sambil menerima uang dari Reif.
"Tenang saja Pak!" papar Reif. Senyum menyembul keluar dari bibirnya yang tebal.
"Kami mau lanjutkan perjalanan!" kata Gobun.
"Mengejar hujan darah itu, lantas memenggalnya sampai hancur berkeping-keping," kata Gobun bersemangat.
"Tapi dia begitu kuat!" Panawa memperingatkan.
"Suatu hari kota ini akan berhenti membenci hujan." timpal Reif lagi sambil berlalu. Diikuti tiga temannya.
"Thanks Sir, kopinya terlalu manis. Lain kali kita singgah, kau kurangi takaran gula di gelasku," tutup Tapa. Disibaknya jas hujannya, menerobos senja yang lambat merambat gulita.
***
Panawa berdiri kaku. Di warung kopinya itu dia masih terus mengawasi langkah keempat pemuda itu yang dengan gagah membelah dinginnya hujan.
Sementara dari dalam rumah terdengar bunyi pintu berderit. Saodah istrinya muncul di depannya, membuyarkan pandangan Panawa.
"Siapa Pak?" tanya Saodah
"Entahlah, cuma sekelompok anak muda yang tersesat di dalam mimpi ganja-nya" katanya mencoba menenangkan dirinya dan hati Saodah.
Mereka beranjak. Menutup warungnya dengan segera. Sebab di luar sana hujan masih turun membalas dendam.
"... kami adalah pemburu hujan. Kami habiskan waktu hanya untuk mengejar hujan. Tak ada saat yang membahagikan selain ketika menari di bawah hujan. Tak ada yang lebih sedih selain gagal memenggal hujan... Kami adalah pemburuh hujan. Kami..."
Lamat-lamat Panawa masih mendengar gerombolan pemuda itu di balik hujan. Sesungguhnya jauh di dalam hati, Panawa berharap banyak dengan apa yang telah dikatakan Reif kepadanya.
"Semoga Tuhan melindungi perburuan kalian," bisiknya dalam hati.
Palmerah, 26/11/2006
*Petikan puisi Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Santa Cruze
Santa Cruze
Aspal itu merah, seperti darah
“itu sirop” kata Bapak
Tapi ibu mencariku dengan gelisah
Aku tak tahu, di mana diriku tertembak
5 Januari 1992
KOMENTAR ANDA