post image
KOMENTAR
DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Surabaya pimpinan M Romahurmuziy (Romi) akan mengajukan intervensi, menyikapi gugatan terhadap Menkumham RI yang diajukan oleh Kubu Suryadharma Ali (SDA) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas terbitnya SK Menkumham RI No. M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tanggal 28 Oktober 2014.

"Kami akan menjadi intervenient dalam perkara TUN tersebut," kata Wakil Sekjen DPP bidang Hukum, HAM dan Advokasi, Arsul Sani dalam keterangannya, Kamis (30/10).

Ditambahkannya, gugatan yang diajukan tersebut didasarkan pada pemahaman ketentuan UU Parpol dan AD/ART yang misleading alias menyesatkan. Gugatan TUN tersebut bersandar pada putusan Mahkamah Partai PPP, padahal menurut Arsul, ketentuan Pasal 32 ayat 5 UU Parpol menetapkan batasan sifat dan mengikatnya putusan Mahkamah Partai adalah bersifat internal.

"Artinya, pihak eksternal, seperti Menkumham, tidak terikat dengan amar putusan Mahkamah Partai, apalagi jika putusan Mahkamah Partai tersebut melebihi kompetensi atau kekuasaan absolut-nya (excess de pouvoir). Menkumham terikatnya dengan ketentuan UU Parpol," ujar dia.

Berdasarkan Pasal 23 ayat 3 UU Parpol, Menkumham menetapkan pendaftaran kepengurusan Parpol tingkat pusat paling lama tujuh hari sejak diterimanya persyaratan. Perubahan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya diajukan ke Kemenkumham 17 Oktober 2014, seluruh persyaratan disempurnakan 20 Oktober 2014. Jadi Menkumham punya kewajiban hukum untuk menetapkan perubahan kepengurusan tersebut paling lambat 27 Oktober 2014. Namun, karena beliau baru dilantik pada tanggal itu, maka SK tersebut baru diterbitkan pada 28 Oktober 2014.

"Keterlambatan ini bisa kami pahami," ungkap Arsul.

Mengenai perselisihan kepengurusan yang dapat menunda pengesahan perubahan susunan kepengurusan, Arsul menjelaskan bahwa Pasal 25 UU Parpol mengatur bahwa yang dimaksud dengan perselisihan tersebut adalah ditolaknya perubahan kepengurusan PPP oleh paling tidak 2/3 peserta Muktamar, yakni 2/3 DPW dan 2/3 DPC yang sah selaku peserta Muktamar. Penolakan tersebut juga harus disampaikan kepada Menkumham secara tertulis sehingga Menteri tersebut tahu ada penolakan yang sesuai dengan UU Parpol.

"Faktanya adalah tidak ada penolakan yang diajukan sedikitnya 2/3 DPW dan DPC yang sah atas permohonan perubahan susunan kepengurusan PPP tersebut, yang ada hanya penolakan dari beberapa orang saja pengurus DPP PPP periode lalu, sehingga tidak ada dasarnya bagi Menkumham untuk menunda pengesahan," ujar Arsul.

Dikemukannya bahwa akar permasalahan ada di putusan Mahkamah Partai PPP. Sesuai dengan Pasal 20 ayat 4 AD jo. Pasal 19 ayat 1 ART PPP, kompetensi atau kewenangan Mahkamah Partai hanya terbatas pada hal-hal yang terkait dengan perselisihan kepengurusan internal partai, pemecatan anggota, penyalahgunaan wewenang dan keuangan partai.

AD atau ART PPP tidak memberikan kompetensi kepada Mahkamah Partai untuk memutus hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan Muktamar, apalagi memberikan wewenang kepada Majelis Syariah untuk menginisiasi pembentukan panitia Muktamar. Fungsi dan wewenang Majelis Syariah telah secara spesifik dirumuskan dalam AD/ART PPP, dan fungsi itu tidak termasuk untuk menginisiatifi Muktamar PPP.

"Itulah kenapa putusan Mahkamah Partai PPP excess de pouvoir," tandas Arsul.[rgu/rmol]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa