Korea Utara mematahkan isu-isu negatif terkait hak asasi manusia (HAM) yang selama ini dilekatkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan menggelar pertemuan singkat pada awal bulan ini, Selasa, (7/10/2014).
Dalam pertemuan yang dihadiri diplomat dari sejumlah misi di PBB seperti dari Kuba dan Venezuela itu, Wakil Duta Besar Korea Utara untuk PBB, Ri Tong-il memaparkan laporan berjudul "Report of the DPRK Association for Human Rights Studies". Laporan yang berisi catatan HAM Korea Utara setebal 110 halaman itu sendiri pertama kali dipublikasikan pada 13 September 2014 lalu.
Dubes RI menyebut, tujuan digelarnya pertemuan itu adalah untuk meluruskan kesalahpahaman informasi yang meluas terkait masalah HAM di Korea Utara. Selain itu peremuan juga dilakukan untuk memberikan informasi yang lebih akurat terkait situasi HAM yang sebenarnya terjadi di Korea Utara.
Ia memaparkan secara ringkas soal isi laporan yang berisi lima bab utama itu. Dalam laporan, dijelaskan secara detil, mulai dari sejarah, ideologi, hingga sistem sosial di Korea Utara. Selain itu juga dijabarkan soal standar, pengembangan, serta mekanisme perlindungan HAM yang diterapkan di Korea Utara.
Laporan itu memaparkan fakta yang sesungguhnya terjadi di Korea Utara terkait isu HAM. Selain itu juga dijelaskan secara rinci soal hak-hak yang dimiliki oleh warga Korea Utara, mulai dari hak politik, hak sipil, hak sosio-ekomi, hak sosial-budaya, hingga hak kelompok khusus.
Dalam laporan yang sama, Korea Utara juga menunjukkan posisinya dalam upaya untuk mempromosikan HAM di level internasional serta hambatan utama dalam melakukan promosi itu. Salah satu hambatan utama yang dihadapi Korea Utara adalah sikap Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Diketahui Amerika Serikat dan Uni Eropa kerap kali menggunakan PBB untuk mencitrakan Korea Utara sebagai negara yang melakukan pelanggaran HAM sehingga dapat diseret ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
Dubes Ri, dalam pertemuan singkat yang juga dihadiri oleh Wakil Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Korea Utara Choe Myong Nam dan Konselor Misi Korea Utara itu Kim Song itu, menekankan, PBB merupakan organisasi internasional dengan 193 negara anggota yang tergabung di dalamnya. Masing-masing negara anggota PBB itu, sambung Dubes Ri, memiliki sistem politik, ideologi, serta nilai-nilai yang berbeda satu sama lain, tak terkecuali Korea Utara.
Lebih lanjut Dubes Ri juga menjelaskan bahwa saat ini berkembang kecenderungan untuk membawa isu HAM untuk melawan Korea Utara. Salah satu contohnya, kata Dubes Ri, adalah pertemuan pada tanggal 23 September lalu yang digelar di sebuah hotel di dekat markas besar PBB oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Anehnya, pertemuan yang agenda utamanya adalah membahas pelanggaran HAM di Korea Utara itu tidak melibatkan delegasi Korea Utara. Bahkan Korea Utara ditolak ketika mengajukan diri untuk berpartisipasi di dalam pertemuan itu.
Di tengah pertemuan yang digelar oleh Korea Utara itu muncul pertanyaan soal apa hubungan antara keengganan Amerika Serikat untuk menegosiasikan perjanjian perdamaian dengan Korea Utara untuk mengakhiri Perang Korea dengan tudingan Amerika Serikat soal pelanggaran HAM di Korea Utara.
Demi menjawab pertanyaan itu, Global Research (Jumat, 17/10) merujuk pada sebuah artikel berjudul “The Mirror of North Korean Human Rights” yang dipublikasikan oleh Critical Asian Studies.
Dalam artikel yang berisi analisa Professor Christine Hong itu dijelaskan bahwa Amerika Serikat secara teknis dan praktik berada dalam keadaan perang dengan Korea Utara. Hal itu terlihat dari sanksi yang terus diberlakukan baik oleh Kongres Amerika Serikat atau Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara baik dalam sektor ekonomi, politik, ataupun budaya. Selain itu Amerika Serikat dengan menggandeng Korea Selatan dan Jepang juga kerap kali menggelar latihan militer besar-besaran di dekat wilayah Korea Utara. Bahkan baru-baru ini lebih dari 28 ribu tentara Amerika Serikat ditempatkan di Korea Utara.
Dengan situasi tersebut, kata Hong, klaim Amerika Serikat atas pelanggaran HAM Korea Utara merupakan wacana yang sesuai dan efektif yang dapat dijadikan "jubah" bagi aktivitas perang yang dilakukan Amerika Serikat di Semenanjung Korea.
Karena itu, Hong menekankan bahwa bila Amerika Serikat khawatir atas pelanggaran HAM di Korea Utara, negeri Paman Sam itu harusnya diawali dengan dengan mengakhiri kerusakan yang terjadi pada penduduk sipil serta infrastruktur sipil Korea Utara akibat ulah Amerika Serikat dan sekutunya selama Perang Korea dan karena penerapan sanksi.
Dengan demikian, agaknya laporan HAM yang baru dikeluarkan Korea Utara itu tepat karena selain meluruskan isu negatif yang berkembang juga dapat menunjukkan kegiatan anti-HAM yang dialami warga Korea selama pendudukan Jepang selama 35 tahun serta sikap bermusuhan (hostile) Amerika Serikat terhadap Korea Utara sebelum dan sesudah Perang Korea.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA